GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #19

18

SENANG bisa melihat Bibi Sofi kembali menjalani hidupnya dengan normal. Ketika Paman Ferri baru meninggal, Bibi Sofi sering kali berdiam diri di dalam kamarnya. Kadang seharian tidak keluar. Aku dan Ibu nyaris dibuat frustrasi karena apa pun yang kami lakukan tidak bisa membujuknya keluar dari kamar atau paling tidak menyuruhnya untuk makan.

Sekarang, beliau berdiri di hadapan kami, dengan baju katun birunya yang membuat Bibi Sofi terlihat sangat tinggi. Persis seperti Bibi Sofi yang sangat aku kenal, elegan dan anggun. Konon kata Paman Ferri, Bibi Sofi dulunya adalah kembang kampus yang diperebutkan oleh banyak mahasiswa. Bahkan, Paman Ferri harus bersaing dengan sahabatnya yang sama-sama suka kepada Bibi Sofi.

Paman Ferri sering menceritakan kisah cintanya dengan Bibi Sofi kepadaku sesering beliau menceritakan kisah hidup para tokoh-tokoh besar favoritnya, tetapi entah kenapa aku tidak pernah bosan mendengar kisah cinta mereka. Bagiku kisah cinta Paman Ferri dan Bibi Sofi lebih romantis dan dramatis ketimbang kisah cinta Ibu dan Ayah.

Oleh karena itu, kadang aku tidak kuasa menatap Bibi Sofi lama-lama, rasa bersalah, takut, dan malu bercampur aduk di dalam diriku. Bagaimanapun juga akulah orang yang telah memisahkan Bibi Sofi dan Paman Ferri. Akulah orang yang telah merenggut orang yang paling dicintainya dari sisinya. Aku tidak pernah mau membayangkan, apa yang akan beliau lakukan seandainya saja tahu kalau orang yang telah membunuh suaminya itu adalah aku. Keponakan tersayangnya.

Namun, lagi-lagi aku tidak berdaya. Sebab, saat aku menyadari kembali betapa besar kecintaanku terhadap Ibu dan betapa menakutkannya menjalani hidup tanpa dirinya, membuat aku kembali pula berpikir bahwa apa pun yang telah kulakukan adalah sesuatu hal yang memang sudah semestinya aku lakukan. Termasuk mengorbankan kehidupan orang-orang yang paling aku sayangi untuk ditukar dengan kehidupan ibuku.

Kini, aku duduk di sini. Di meja makan Bibi Sofi ini dengan jutaan harapan, semoga Bibi Sofi bisa memaafkanku dan tetap selalu menyayangiku.

“Ssst, Kenny! Apa nama finishing kayu ini? Waktu itu lo pernah bilang. Gua lupa ....,” bisik Sam sambil dengan pelan mengetok-ngetok kursi yang dia duduki. Dan, hal tersebut berhasil mengalihkan fokusku kembali pada realita di hadapanku. “Kemaren gua ngomporin bokap gua supaya beli kursi kayak beginian, cuma lupa pas beliau tanya, bagusnya di-finishing apa, ya? Maklum gua kagak tahu sama sekali tentang furniture.”

“Lah, kenapa enggak nanya langsung sama tukang mebelnya?” jawabku, lalu kulirik Roza yang menutup mulutnya karena menahan tawa. “Lagian kenapa enggak beli kursi dan meja yang sudah jadi, dan enggak perlu bikin sendiri kayak gini. Kan, gampang kalau begitu.”

“Waktu itu belum nyampe tukang mebel, Ken. Baru musyawarah keluarga saja. Males ah kalau beli yang sudah jadi, mending bikin sendiri kayak gini. Jadi, enggak sama dengan punya orang. Pliiiiiis, Ken. Gua pengen banget meja makan yang persis kayak beginian.”

“Lah, enggak sama kayak punya orang lain, tapi kamu pengen bikin yang sama kayak gini. Dasar! Kursi dan meja ini pake finishing transparan, bisa pake melamine, NC, politur, dan lain-lain, kalau meja dan kursi ini sih pakenya melamine, aku juga kata Paman Ferri. Untuk lebih jelasnya tanya langsung saja sama tukang mebelnya.”

Sam menyengir sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Siiip, thanks, Bro. Melamine ya, oke deh. Gua harus inget-inget itu.”

Kalau diperhatikan dengan saksama, semua komponen yang memenuhi rumah Paman Ferri ini memang sangat elegan, termasuk kursi dan meja makan ini―pantas saja Sam begitu ngotot ingin juga memiliki model meja makan seperti ini.

Semua ruang di rumah ini didesain dengan konsep minimalis dan sangat berkelas. Meja makan ini contohnya, ditata dengan sangat rapi, terletak di antara dapur dan ruang santai. Di sebelah kananku, sebuah aquarium besar yang berisi hanya satu ikan, yaitu ikan arwana merah sepanjang 50 cm, memisahkan ruang makan dengan ruang santai, sedangkan di hadapanku, sebuah pintu dan empat jendela besar dari kaca bening membatasi ruang makan dengan taman belakang rumah. Dua pemandangan yang sama-sama mencolok, saling tarik-menarik dan butuh diperhatikan sehingga di sebelah mana pun kita duduk, kita akan selalu disajikan pemandangan yang memikat. Belum lagi replika guci kramik besar peninggalan Dinasti Ming yang berdiri anggun di sudut-sudut ruangan, sangat menarik perhatian, seperti magnet menarik besi.

Aku duduk di hadapan Sam yang tak pernah bosan-bosannya mengagumi kayu jati berukir bunga kawung yang didudukinya itu. Menurutnya, kayu gelap berpernis dan dilapisi kulit itu terkesan sangat mewah. Di samping kami, Roza duduk dengan manisnya, dan berusaha sebisa mungkin tidak terlihat norak seperti Sam. Di tengah-tengah kami, meja segi empat dari kayu jati berukiran Jepara asli, berdiri kukuh. Sebuah tempat lilin aluminium bergaya abad pertengahan ada di tengah-tengahnya.

Paman Ferri dan Bibi Sofi selalu menikmati sarapan, makan siang, dan makan malamnya di meja ini. Bahkan setelah makan pun, mereka sering berlama-lama duduk sambil mengobrol di sini, terutama jika ada aku dan Ibu.

Malam ini, dengan seizin dari Bibi Sofi, aku mengundang Sam, Roza, dan seharusnya Rini juga untuk makan malam di sini. Menikmati masakan Bibi Sofi yang pasti lezat. Aku dan Paman Ferri menjulukinya sebagai Maitre Cuisinier De France atau master chef dari Prancis, sebab beliau suka sekali memasak masakan Prancis.

Kulirik lagi Bibi Sofi yang sudah hampir setengah jam berada di dapur. Menyiapkan makan malam untuk kami. Tidak lama kemudian, beliau meletakkan piring saji di depan kami masing-masing.

Crispy Skin Cajun Style Tasmanian Salmon with Tropical Salsa!” katanya, “Ini masakan Prancis, yang baru saja tante coba resepnya.”

Bibi Sofi meletakkan hidangan yang berupa potongan ikan salmon panggang yang kulitnya tidak dibuang. Bagian luar salmon ini kering dan malah lebih cenderung agak gosong, tetapi di bagian dalamnya terlihat lembut dan juicy dengan saus tropical salsa, dan brokoli rebus di sekelilingnya. Benar-benar menggugah selera sekali.

“Wah, kelihatannya sangat menggiurkan, Tante!” Kedua mata Sam berbinar-binar, tidak sabar untuk segera makan. “Namanya panjang banget, Tante?”

“Ya, mungkin supaya terdengar keren ... hehehe.” Bibi Sofi tersenyum. “Menurut tante, tentu akan sangat menarik jika di malam yang sendu ini kalian makan seafood, tante punya resep baru dan ini kali kedua tante mempraktikannya. Mudah-mudahan kalian suka rasanya.”

“Baunya saja sudah sedap begini, Tante. Apalagi rasanya.” Roza menghirup aroma yang menguar dari masakan yang dihidangkan oleh Bibi Sofi. Hanya dalam beberapa menit, meja makan sudah penuh oleh berbagai macam hidangan dari bahan seafood, nasi putih yang mengepul, air minum, jus jeruk, dan sup untuk makanan penutup.

“Oke, silakan menikmati hidangan makan malamnya. Dihabisin, ya.”

“Lho, Tante kok enggak ikut makan bareng kita?” tanya Roza.

“Tante tadi sudah makan bareng eyangnya Kenny. Jadi, masih kenyang banget. Maaf tante enggak bisa nemenin. Silakan, anggap saja rumah sendiri.” Bibi Sofi mengusap kepalaku pelan, lalu pergi meninggalkan ruang makan.

Lihat selengkapnya