GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #20

19

KAKIKU menginjak pedal gas dalam-dalam, membuat mobil sedan Paman Ferri melaju dengan cepat. Aku melirik Roza yang duduk di sampingku. Sepertinya dia tidak terpengaruh oleh perubahan kecepatan mobil ini. Matanya terus menatap ke arah depan, dan sekali lagi aku melihat senyumannya kembali mengembang.

“Ada apa, Cha? Dari tadi senyum-senyum sendiri.”

“Eh, enggak. Aku cuma ingat masakan Bibi Sofi saja tadi,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arahku.

“Memangnya kenapa masakan Bibi Sofi? Kamu enggak suka?”

“Bukan, bukan begitu. Justru aku suka banget. Bahkan sampai saat ini pun di lidahku masih kerasa sensasi salmonnya.”

“Itulah Bibi Sofi. Beliau enggak cuma sekadar memasak, tapi juga menciptakan sensasi dari masakannya.”

“Iya, sensasi ‘rasa laut’-nya memang luar biasa. Aku kagum sama keberanian Bibi Sofi untuk menampilkan rasa asli dari seafood yang dimasaknya. Mungkin karena menggunakan bumbu yang minimalis kali, ya?”

“Enggak tahu, hehehe .... Aku sih kalau makan, makan saja. Kadang enggak kepikiran itu gimana-gimananya. Tahunya enak dan enak sekali. Gitu saja,” kataku sambil mengangkat bahu.

“Yah, tipikal anak cowok. Enggak aneh ...,” kata Roza sambil tersenyum, lalu dia meneruskan, “aku pengin belajar masakan Prancis sama Bibi Sofi, boleh enggak ya kira-kira?”

Roza memandang ke luar jendela, ke arah aliran sungai di sepanjang jalan yang mengilat-ngilat di jalur yang tersorot lampu jalanan. Aku menurunkan kecepatan mobil, lalu berbelok ke arah kanan di pertigaan ini. Di sini jalanannya lebih gelap dan sunyi, hanya ada jejeran rumah-rumah dengan pintu gerbang tertutup yang menjulang tinggi dan pohon-pohon rindang di sisi jalan yang lain.

“Bolehlah pastinya. Nanti coba aku bantu bilang deh sama Bibi Sofi.”

“Beneran, Ken?” Roza manatapku dengan mata berbinar.

“Iya.”

“Makasih, ya, Ken. Oh iya, makasih juga sudah ngundang makan malem, ya.” 

“Ya, sama-sama. Sebetulnya itu aku lakukan supaya rumah Paman Ferri tidak terlalu sunyi saja. Sekalian menemani Bibi Sofi juga, sampai Mbak Rani datang kembali dari kampungnya.”

“Iya, kasihan Bibi Sofi, dan aku turut berduka atas apa yang menimpa Paman Ferri.”

“Terima kasih ya, Cha. Terima kasih banyak.”

“Iya, sama-sama. Oh iya, sebetulnya Bibi Sofi itu dulu kuliah jurusan masak atau apa?” tanya Roza sambil tersenyum. “Masakan Prancis-nya nyaris sempurna.”

“Hahaha ... enggak kok, beliau kuliah satu jurusan sama Paman Ferri. S1 dan S2-nya. Manajemen Bisnis. Cuma ya, beliau suka ikut-ikut kursus masak gitu, dulu.”

“Wow, pantes.” Sekali lagi Roza tersenyum ke arahku.

Aku menelan ludah. Ah, betapa manis senyuman perempuan ini. Betapa indah kedua bola matanya yang berbinar itu. Lagi-lagi aku tidak sanggup menahan jantungku agar tetap berdetak normal. Tiba-tiba, keinginan untuk mengungkapkan semua perasaanku muncul kembali, bahkan kali ini lebih kuat daripada saat di balkon tadi. Ayo, katakan. Ini saat yang tepat, kataku dalam hati. Apa sih susahnya bilang, “aku suka kamu atau aku cinta kamu”? Ayolah.

Lihat selengkapnya