GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #22

21

AKU bersandar di dinding sekretariat Klub Mading, membiarkan tembok beton mendinginkan punggungku. Berharap panas di tubuhku menurun, sebab sejak tadi suhu tubuhku terus meningkat. Apakah ini ada hubungannya dengan kemunculan bulan purnama? Mengingat malam nanti bulan akan terlihat bulat sempurna.

Siapakah nanti yang akan muncul ke dalam ruangan maut itu? Siapa orang paling kusayangi yang akan menjadi korban perjanjianku dengan Rucita selanjutnya? Masih terbayang dalam benakku Paman Ferri yang kesakitan. Dan, masih terasa olehku kehilangan yang menyayat hati setelah tahu di dunia nyata pun Paman Ferri benar-benar meninggal.

Kuusap wajahku berkali-kali berusaha menenangkan diriku sendiri. Dan, mencoba untuk fokus pada Ibu, aku melakukan semua ini karena aku tidak ingin kehilangan Ibu. Namun, kegelisahan di dalam hatiku semakin bergolak, aku tidak bisa mengusir perasaan rasa takut dan bersalah. Semakin kuat aku berusaha malah justru semakin membuat jantungku berdetak semakin cepat dari sebelumnya.

Di sini aku berdiri sendirian, ketiga temanku pergi ke kantin untuk membeli makanan. Sengaja aku tidak ikut mereka dengan alasan tidak enak badan, padahal karena mood-ku saja yang sedang tidak baik.

Kuperhatikan anak-anak perempuan kelas 10 yang bergerombol di depanku, di depan taman kecil kesayangan kelas mereka. Beberapa di antara mereka tengah berdiri di samping tiang gedung sambil cekikikan menyaksikan anak-anak yang bermain basket di lapangan, beberapa lagi sedang duduk-duduk di bangku teras sambil asyik bergosip.

Aku menyipitkan mata dan memfokuskan pikiranku kepada mereka. Berusaha mengalihkan kegelisahan yang sejak tadi menguasai hatiku. Pada awalnya, tidak terjadi apa-apa. Namun, tak lama kemudian, tiba-tiba saja aku merasakan perubahan aneh dalam diriku. Entahlah, seperti ada sesuatu yang menarikku masuk ke dalam lingkaran mereka, jiwaku seakan-akan bergerak mendekati mereka, menyelinap di antara mereka.

Kemudian, muncul sensasi aneh memenuhi dadaku seperti gejolak air yang dipanaskan pada suhu seratus derajat celsius, cepat-cepat kualihkan tatapanku ke arah anak-anak yang bermain basket di lapangan. Dan ternyata, sama saja, bahkan kali ini aku dapat melihat energi dari tiap anak yang ada di lapangan. Merah, biru, hijau, ungu, dan oranye meliuk-liuk menguar dari seluruh tubuh mereka seperti asap hasil pembakaran. Aku mengedipkan mata berkali-kali, lalu menggosoknya dengan punggung tanganku, tetapi warna-warni itu masih ada di sana.

Fenomena macam apa yang aku alami ini? Akhirnya cepat-cepat kututup kedua mataku rapat-rapat. Berusaha menenangkan diri sebisa mungkin.

Setelah beberapa saat aku membuka kembali mataku perlahan-lahan. Kini pandanganku kembali normal, tidak ada lagi warna-warni yang berkelebatan di antara anak-anak, tidak ada juga sensasi dan perasaan aneh memenuhi dadaku. Semuanya kembali normal. Perasaan apa sebenarnya tadi? Ataukah itu hanya halusinasiku saja karena terlalu gelisah dan ketakutan.

Kemudian, aku berpaling ke ujung koridor, berharap ketiga temanku cepat kembali. Namun, yang kutunggu tak juga menampakkan ujung hidungnya. Kenapa mereka lama sekali, padahal aku sudah sangat lapar di sini? Apa karena kantin sedang penuh sehingga mereka harus antre panjang dan lama untuk mendapatkan giliran? Ataukah mereka masih asyik mengobrol di kantin sambil menikmati makanan pesanan mereka masing-masing sehingga lupa untuk kembali?

Aku hendak menyusul ketiga temanku ke kantin karena tidak sabar menunggu, tetapi pandanganku tertahan pada seorang anak perempuan yang berlari mendekati kerumunan anak-anak yang ada di depanku. Tangan kanannya membekap mulutnya, dan dengan pandangan terus menunduk, anak perempuan itu berhenti di depan kerumunan, lalu memeluk salah satu di antara mereka. Anak-anak yang lain mendekat, lalu ikut memeluk anak perempuan yang baru datang tersebut. Bahkan anak-anak perempuan yang tadinya bersandar di tiang gedung pun ikut berkerumun ke teras.

Lihat selengkapnya