GRAHANA

Kagura Lian
Chapter #23

22

RUANGAN aneh ini panas dan pengap. Banyak sekali pendar bintang yang bergantungan di langit-langit ruangan. Hampir saja aku mengira kalau ruangan ini tidak memiliki atap, tetapi saat kulihat lebih saksama ternyata penampakan ruang angkasa yang lengkap dengan bintang gemintangnya adalah sebuah langit-langit ruangan.

Lukisan-lukisan murahan yang terlihat norak, dan hiasan-hiasan aneh yang tidak cocok dengan warna keempat dinding, menempel tak beraturan di setiap inci dinding. Wanita-wanita yang berdiri di sudut-sudut ruangan terus memperhatikanku, sesekali mereka melirik jubah hitamku yang panjang menjuntai. Aku tidak mau berspekulasi siapa mereka dan apa yang mereka lakukan di sini.

Kulihat lantai ruangan ini berdebu tebal. Dan, hampir di sepanjang dinding sebelah kananku berjejer tempat-tempat sampah yang sudah penuh dengan berbagai macam sampah organik, plastik, botol-botol bekas, cacing, dan belatung. Tempat-tempat sampah itu dideretkan dengan kantong-kantong hitam yang terikat rapi—mungkin berisi mayat-mayat yang sudah tidak bisa dikenali lagi atau mayat-mayat hasil tabrak lari. Di depanku, sebuah koridor yang tak terlihat ujungnya memanjang sampai jauh. Di kedua sisinya, coretan-coretan grafiti tak berkualitas memenuhi setiap jengkal dinding ruangan.

Aku memeras otak untuk berpikir, tetapi pada saat-saat seperti ini aku tidak dapat berpikir. Lama sekali. Sampai akhirnya ruangan ini kembali berputar-putar, berubah secara gaib.

“Hmm, Kenny. Sudah lama sekali kita tak berjumpa.” Bibir Rucita yang mungil mengilat ketika dia tersenyum. Aku sudah tak terkejut lagi dengan kemunculannya yang secara tiba-tiba. Dia mengibarkan jubah putihnya, melayang mendekatiku.

“Bagiku justru sebaliknya, sepertinya baru saja kemarin kita bertemu,” kataku ketus. Kini, aku berdiri di sebuah balkon sempit, mengamati cahaya lembut rembulan yang nyaris sempurna, ketika seorang bocah kurus dan botak masuk sambil membawa nampan perak ke dalam ruangan. Matanya yang hitam pekat mengilap terkena cahaya lampu minyak, rambutnya yang hanya tinggal beberapa helai saja menjuntai hingga menutupi wajahnya. Aku masih ingat bocah itu, Radikus, pelayan setia Rucita. Bocah itu bergerak cepat dan tenang menuju balkon, mengatur nampan yang berisi buah-buahan dan cangkir-cangkir bersepuh emas di atas meja. Dia juga dengan cekatan mengatur kursi untukku yang berada tepat di seberang Rucita dengan meja kecil di antara kami berdua. Hanya dalam hitungan detik, di atas meja sudah ada cangkir-cangkir bersepuh emas yang berisi cairan berwarna merah pekat, sepiring buah-buahan, dan kue-kue berisi daging yang menguarkan bau rempah-rempah.

“Oh, terima kasih banyak, Radikus,” kata Rucita sambil mengusap kepala bocah itu berkali-kali. Sementara si pelayan membereskan kembali nampan yang telah kosong. Aku memperhatikan syal rubah Rucita merayap turun ke dadanya, lalu melompat ke atas meja. Dengan lahap syal rubah itu menggigit beberapa potong daging di atas piring dan membawanya turun ke lantai.

“Aku sudah tahu, siapa kau,” kataku secara tiba-tiba, itu membuat Rucita serta-merta menatapku lekat-lekat.

“Oh iya? Siapa aku, Ken?” tanyanya sambil menelengkan wajahnya ke arah kanan.

“Kau adalah siluman rubah yang telah hidup selama ratusan tahun. Kau muncul di beberapa generasi dan ditulis sebagai legenda dalam berbagai catatan.” Aku balik menatap Rucita dengan pandangan yang tajam.

“Kamu membaca kisah tentangku? Bagaimana kamu bisa tahu kalau itu adalah aku?” Dari bawah gaun Rucita yang berlipat-lipat bergerak sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang menggeram. Syal rubah itu memanjat tubuh Rucita, seperti musang memanjat pohon akasia. Syal itu bertengger kembali di bahu Rucita, lalu menggeram ke arahku sebelum ia melilitkan tubuhnya di leher Rucita yang jenjang itu.

Lihat selengkapnya