KAMAR ini dingin sekali sehingga aku bisa melihat napasku sendiri di udara. Jantungku berdebar-debar kencang dalam kesunyian. Aku membayangkan tubuh pria tua itu terbaring di tempat tidur, membiru, bengkak, dan bau selama berhari-hari, sampai seseorang menyadari dia tidak ada.
Aku terbangun dengan kepala basah. Menunggu kabar dari Ibu, Bibi Sofi, atau siapa pun yang nanti akan datang, dengan hati yang beku. Di pojokan tempat tidur ini kupeluk erat-erat selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Bantal yang selama semalaman menemaniku tidur, tergolek tak berdaya. Tergeletak di atas lantai kamar. Malam tadi aku telah membunuh satu lagi orang yang aku sayangi.
Di pojokan ini tubuhku bergetar sangat kuat. Keringat terus mengucur hampir membasahi seluruh selimut yang kupeluk. Napasku begitu cepat, dan tiba-tiba aku merasa takut sekali bertemu dengan siapa pun di luar sana. Rumah ini terasa sunyi. Kehidupan di dalamnya seolah telah dimatikan secara misterius. Keheningan berdenting di kepalaku seperti ejekan.
Aku tak bisa membayangkan harus bertahan dalam kesepian yang menakutkan seperti ini. Tak akan ada lagi orang-orang yang kucintai dan kusayangi, tak akan pernah melihat orang-orang itu lagi.
Aku menatap balkon sempit di kamarku, lalu berjalan perlahan menuju ke sana. Memikirkan apa yang akhirnya harus aku lakukan. Angin dingin membelitku seperti sehelai selendang saat tubuhku merapat ke pagar balkon. Kepalaku pusing, seperti ada berjuta-juta kunang-kunang yang beterbangan di depan wajahku. Kemudian, aku muntah yang kebanyakan adalah air, meluncur ke bawah sana. Tinggi balkon ini memang hanya 9 atau 10 meter, tetapi jika kepala duluan yang sampai ke bawah pasti akan berakibat fatal. Mungkin bisa langsung mati.
Lebih sakit manakah, mati karena jatuh atau mati karena seluruh energi hidup kita diserap oleh makhluk aneh dan ganjil? Akan adakah lorong panjang dan bercahaya putih menyilaukan saat aku mati nanti? Akankah ada orang yang menyambutku di alam sana saat aku mati? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mendesak-desak kepalaku. Bersama kunang-kunang yang terus berpendaran di sekelilingku. Sesaat aku menatap lantai berbatu di bawah sana, bunga-bunga bugenvil yang berwarna-warni, dan perdu-perdu kacapiring yang berjejer rapi.
Rasa pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi, seakan-akan ada angin puting beliung yang meliuk-liuk di dalamnya. Sebelum aku tersadar bahwa aku harus berpegangan erat pada pagar balkon, tiba-tiba saja aku sudah menukik cepat seperti perenang yang melakukan lompatan indah ke kolam renang. Kemudian, aku melihat matahari yang bersinar terang dari balik jendela. Tampak cerah dan menyenangkan, menyapaku dengan perasaan hangat dan nyaman. Bunga-bunga bugenvil di halaman depan menebarkan bayangannya di gordeng-gordeng ungu. Sesaat aku merasakan kepalaku basah. Air. Apakah aku ada di dalam air? Aku menarik napas dan membaringkan diriku sesantai orang-orang yang sedang liburan di atas papan selancar, di tengah laut yang tenang dan damai. Aku melihat langit yang cerah, melihat awan-awan yang berarak membentuk bermacam-macam hewan. Ah, beginikah rasanya kematian itu?
Namun, tiba-tiba aku tersentak, dan kudapati aku telah berada di tengah padang pasir yang diam. Sejauh mataku memandang aku hanya melihat hamparan pasir yang bergelombang, sedangkan matahari di atas sana menyengatku dengan sinarnya yang terik. Aku berjalan ke sembarang arah. Ke mana pun.
Padang pasir ini begitu luas, lalu aku memejamkan mataku dan aku merasakan embusan angin kencang yang menerpa wajahku. Kemudian, sayup-sayup aku mendengar suara ombak dan kicau camar di atas kepalaku. Ketika aku membuka mata, aku melihat laut yang biru di hadapanku, lalu gelombang ombak yang datang menghampiri kakiku. Aku berlari menuju lautan, melompat ke dalam air yang asin dan biru. Kemudian, aku berenang dan terus berenang hingga mataku perih. Aku menyelam, melawan dorongan ombak, lalu aku muncul ke permukaan dan melihat langit yang gelap. Bintang gemintang berkelap-kelip, banyak sekali. Ini bukan langit Jakarta, batinku. Aku mengapung di permukaan air laut yang tenang sambil terus menatap rasi-rasi bintang yang indah. Tubuhku telentang, kaki dan tanganku kurentangkan, lalu kubiarkan takdir membawaku ke mana pun ia mau.