Suara gramofon membahana di ruang tengah. Musik yang keluar sangat asing di telinga Raminten, perempuan baya yang belum lama bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Soekamto. Perempuan berusia 50 tahun itu tercekat ketika mendengar musik yang membahana di dekat kamarnya. Raminten turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Pelan ia melangkahkan kakinya dan mengamati setiap sudut rumah bergaya belanda itu.
Raminten bergidik manakala melihat benda-benda antiq yang terpajang di sebuah ruangan khusus. Benda-benda bersejarah yang penuh dengan cerita mistis. Benda-benda itu sudah berusia ratusan tahun sejak zaman kolonial Belanda. Ada lampu patromak, lemari kayu dengan ukiran naga, patung perempuan dengan ekspresi kesedihan, guci dari negeri cina dan banyak lagi.
Raminten mendengar musik itu berasal dari ruang dapur. Ia mempertajam pendengarannya dan sebentar mendengarkan alunan musik itu. Musik zaman dulu dan berbahasa belanda. Raminten semakin bergidik dan bulu kuduknya merinding. Lagu itu lagu yang pernah diceritakan orang tuanya saat pembantaian tragis. Jantung Raminten bergemuruh kencang dan ia membuka pintu ruangan yang berdekatan dengan dapur. Di sana ia melihat seorang laki-laki berkulit pucat berambut pirang menghadap jendela. Raminten membelalakan matanya dan ingin melihat lebih dekat. Tiba-tiba saja kepala laki-laki itu putus dan jatuh ke lantai. Sekonyong-konyong saja Raminten menjerit ketakutan. Ia berlari menjauh dan kembali ke kamar. Musik dari gramofon itu pun semakin keras. Raminten buru-buru menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia sangat ketakutan dan tubuhnya begetar hebat. Tiba-tiba di sudut jendela berdiri seorang permpuan berpakaian pengantin dengan baju berenda dan berdarah berdiri kaku menatapnya.
“Aaakkkhhh...” Raminten menjerit histeris.