Amelia duduk di kursi. Lampu di lantai dua sedikit redup. Ia membolak-balik majalah dengan tidak sepenuh hati. Matanya kembali terseret dengan keadaan ruangan yang sepi. Bola matanya memperhatikan seisi ruangan yang penuh barang antik. Tiba-tiba ia mendengar suara gramofon dari ruang tengah. Amelia kaget dengan mata terbelalak. Takut-takut ia beranjak dari tempat duduk. Berjalan perlahan ke arah suara piano.
”Kak, David?” ia menebak. Amelia penasaran. Ia terus berjalan menuju ruang piano. Kosong. Lengang tidak ada siapa-siapa. Ia tidak tahu asal suara itu. Perasaan Amelia mulai tidak tenang. Pikiran-pikiran lain menghantuinya.
Kreeeekkk...
Pintu terdengar mendecit. Terbuka sendiri. Amelia tersentak. Detak jantungnya makin kencang. Suara-suara kecil di halaman mengalihkan semua perhatian Amelia. Alisnya membuat lipatan-liptan tipis. Wajahnya tegang. Kakinya bergetar jalan menuju jendela. Ia membuka gorden dan memperhatikan halaman samping. Beberapa anak kecil bermain lompat tali dan kelereng. Amelia mengerutkan keningnya. Siapa anak-anak itu? batinnya. Amelia menutup gorden berwarna coklat tua, lalu menuruni anak tangga dengan tergesa.
“Kamu mau kemana, Amelia?” tanya mama penasaran. Mama duduk membaca majalah di ruang tamu bersama nenek. Perempuan tua yang usianya hampir 80 tahun.
“Di luar ada anak-anak, Ma,” ucapnya.
“Anak-anak?” mama mengerutkan wajahnya. ”Siapa? Jangan mengada-ada, ah,” mama terlihat bingung dan meletakkan majalah di meja.
“Bener, Ma. Amelia lihat sendiri anak-anak kecil main di halaman.”
Mama terpaku sambil menatap wajah nenek.
“Kamu yakin itu anak-anak? Mungkin saja anak-anak di sekitar sini,” ujar mama.
Amelia terdiam. Pandangannya benar-benar tidak salah. Dia melihat beberapa anak main di halaman. Amelia menghampiri daun pintu. Membukanya ragu-ragu. Di luar sepi tidak ada siapa-siapa.
‘Kemana anak-anak itu?’ batinnya. Tangan Amelia bergetar menutup pintu. Kakinya terasa lemas. Cepat ia menaiki anak tangga. Masuk ke kamar dan menutup pintu. Ia berjalan menuju jendela kamar. Seorang gadis kecil menatapnya sambil melambaikan tangan. Wajahnya pucat. Ekpresi kesedihan tersirat jelas. Amelia terkesiap dengan mata perih. Tangan gemetaran. Ia menutup gorden kamar.
‘Siapa sih gadis kecil itu?’ batinnya.
Amelia duduk di kasur. Ia menggigit bibirnya. Keringat mengucur di kening. Tiba-tiba saja anak itu muncul di depan jendela kamar. Matanya tajam melihat Amelia. Amelia ketakutan. Ingin menjerit, namun bibirnya keluh. Wajah anak yang menatapnya berubah keriput. Seperti nenek-nenek delapan puluh tahun.
“Agghhkkk…” Amelia menjerit histeris. Tidak ada yang mendengar jeritan Amelia. Amelia ketakutan. Malam merambat pekat dengan diiringi suara binatang malam.
###
Amelia terbangun dan masih tengah malam. Lagi-lagi suara dari gramofon itu mengusiknya. Musik yang keluar dari benda itu juga sangat asing baginya dan sangat menakutkan. Musik zaman dulu dan berbahasa belanda. Amelia mempertajam pendengarannya. Ia berjalan pelan menuju ruang tengah. Ia semakin penasaran karena suara itu semakin kencang dan membahana, tapi mengapa mama, David dan Rangga tidak mendengar alunan musik itu?
Mata Amelia terbelalak ketika melihat sosok laki-laki berseragam angkatan perang berdiri tegak menatap jendela. Laki-laki berambut pirang. Laki-laki itu menoleh dengan perlahan dan tiba-tiba saja kepalanya terputus jatuh ke lantai. Ameliat refleks menjerit dan ketakutan. Darah merah kehitaman mengucur deras dari leher laki-laki itu.
“Akkhhh ....” Amelia berlari tunggang langgang masuk ke kamarnya. Ia maniki anak tangga dengan kaki gemetar. Kemudian membuka pintu kamar dan menutupnya rapat-rapat. Amelia naik ketempat tidur dengan tubuh gemetar. Keringat dingin keluar dari keningnya. Ia menarik selimut dan menutup seluruh tubuh hingga kepala. Amelia berusaha menutup matanya dan tidur.