GRAMOFON

Embart nugroho
Chapter #6

RUANG BAWAH TANAH

Amelia memperhatikan pintu yang terletak di ruang belakang. Di sebelah gudang. Konon pintu itu menuju ruang bawah tanah. Menyatukan ruang-ruang gelap. Ruang dimana ada kehidupan lain. Kehidupan setelah kematian. Pintu itu terkunci sejak puluhan tahun lalu.

Amelia berpikir-pikir sejenak. Mencari anak kunci di lemari yang terletak di sudut ruangan. Ada banyak kunci disana. Amelia mengerutkan dahinya lalu berpikir lagi.

‘Ini kunci apa? Kok bentuknya aneh-aneh?’ batinnya. Tangannya kembali mengais isi laci. Ia menemukan kunci antik yang bentuknya unik. Amelia mencoba beberapa kunci, namun tidak ada yang cocok. Ada sebuah kunci bertangkai panjang, bentuknya juga sangat mengerikan. 

Lama ia memandangi kunci itu dengan lekat. Kunci model lama yang pernah ia lihat di film-film horor Hollywood. Amelia penasaran. Tangannya bergetar memasukkan anak kunci ke lubang pintu. Pintu terlarang yang sudah ditutup terkuak lebar. Angin berhembus dari dalam ruang gelap. Amelia terkesiap.

Amelia mendegut ludah memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Ia menyusuri lorong yang menghubungkan lorong-lorong lain. Amelia melangkah ragu-ragu dengan degup jantung tak menentu. Perlahan ia mengikuti seberkas cahaya yang terpancar dari ujung lorong. Ada pintu kedua disana. Amelia berhenti sejenak di depan pintu bertanda “WODEN INGEVOERD!” Apa artinya?

Kening Amelia berkerut. Giok hijau tua berbingkai kuningan terlilit di bingkai pintu. Tangan Amelia meraih giok itu. Ia melepaskan ikatan rantai giok dengan rasa penasaran. Tak lama pintu terkuak lebar. Sejenak ia terdiam. Ia melangkahkan kaki dengan ragu. Lorong itu terlihat begitu gelap. Penuh sarang laba-laba dan terkesan lembab.

Amelia mengurungkan niatnya. Ia menutup kembali pintu ruang bawah tanah. Tergesa langkahnya menyusuri lorong gelap. Seperti ada sosok yang mengejarnya dari belakang. Amelia berlari dan segera menutup pintu rapat-rapat setibanya di ruang belakang. Amelia menarik nafas lega. Puhh…

***

  

Pikiran Amelia lagi-lagi terusik dengan lorong bawah tanah. Amelia menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin kembali ke ruang itu, namun tidak berani. Dia hanya ingin tahu, ada apa sebenarnya di dalam ruangan itu. Amelia mendegut ludahnya, kemudia ia mencari senter di laci. Ketemu. Selanjutnya Amelia mencari sepatu bot di gudang. Setelah menemukan sepatu botnya ia memakai dengan tergesa. Dengan keberanian yang masih setengah nyali, Amelia menghampiri pintu bawah tanah. Ia menarik nafasnya dengan berat.

Sedikit memberanikan diri ia menelusuri lorong-lorong gelap, bau apek, amis dan bau busuk. Cahaya senter tak begitu terang. Lorong tampak menakutkan. Banyak tulang-tulang berserakan. Keringat Amelia membanjir di keningnya.

Daun pintu terkuak lebar. Amelia masuk dengan hati-hati. Ia melihat lorong-lorong pengap. Ruang-ruang kosong yang menakutkan. Mata Amelia mengawasi sudut-sudut lorong dengan gemetar. Ia tiba di ruang penuh barang rongsokan. Matanya mengedar pada dinding kusam berdebu. 

“Ini bangunan apa?” pikirnya. Amelia terus melangkah ke ruang penuh sarang laba-laba. Bangunan itu tidak asing lagi baginya. Bangunan itu selalu hadir dalam mimpinya.

“Astagfirullah ... Inikan bangunan yang ada dalam mimpiku?” bathinnya.

Jantung Amelia mulai tidak teratur. Matanya mengedar memperhatikan sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Di anak tangga berdiri sosok perempuan baya berwajah tirus. Perempuan itu menatapnya tajam. Jantung Amelia berdegub kencang. Perempuan bergaun sutra. Rok berenda, mengembang seperti film zaman dulu. Rambutnya pirang keputihan. Wajah perempuan itu pucat, keriput dengan mata memerah. Amelia mendegut ludahnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdebuk tak menentu.

Perlahan leher perempuan baya itu mengucur darah segar. Membanjiri gaun berwarna krem. Amelia ketakutan. Bibirnya bergetar ingin menjerit. Ia bergerak mundur. Buru-buru keluar dari bangunan itu. Nafasnya tersengal melewati koridor. Keringat mengucur dari keningnya. Dengan nafas tersengal ia mencari pintu keluar. Pintu terlarang itu entah dimana. Amelia panik. Ia kian ketakutan.

Suara-suara mendesis bersahutan.

Lihat selengkapnya