Luasnya samudra dapat diukur tetapi luasnya hati tak ada yang mampu menerka. Begitulah setidaknya yang kubaca dari seorang perempuan tua yang selama ini membantuku. Wak Jum namanya. Perempuan yang dalam masa tuanya hanya bertemankan dinginnya malam dan teriknya siang.
Wak Jum lah yang membuat harapku kembali menyala. Bak angin yang menyentuh sekam dalam api. Seketika kobarannya meletup membuat gairah hidup kembali lagi.
Aku yang dibesarkan hanya oleh Bibi dan Paman harus bisa bertahan tanpa belaian dan kasih sayang orang tua. Keduanya pergi tanpa kabar setelah perceraian, dan menitipkanku pada Bibi Jen.
Ah, sungguh pilu bila teringat akan hal itu. Aku seperti anak yang tak diharapkan.
Namun, Wak Jum selalu memberi wejangan bahwa tak ada yang mampu mengubah nasib seperti juga kisah hidupnya.
Anak-anak yang dahulu dibesarkan dengan peluh dan air mata kini tak tahu rimbanya. Terdengar kabar mereka semua sukses di rantau orang yang tertinggal hanya Leha, si bungsu. Itu pun kini telah pergi tanpa permisi.
Wak Jum tengah menyapu halaman rumahnya ketika sore itu aku datang membawa sekantong mangga yang ranum. Dengan sisa sirih yang masih menempel di giginya, perempuan itu tersenyum lalu menghentikan pekerjaannya. Dia menuntunku hingga ke muka rumah lalu duduk menghadap mentari yang hendak tumbang .
Wak jum bahkan tak tertarik dengan mangga yang kubawa. Kantong plastik itu hanya dibiarkannya saja di atas meja lalu dia ke belakang terburu-buru.
“Tunggu di sini, Karmila,” ucapnya seraya mengayunkan tangan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku mafhum. Biasanya kalau sudah begini, Wak Jum akan membawa makanan dari dapur dan menghidangkannya untukku. Entah itu ketupat atau sekedar kerupuk nasi buatannya.
Suara entakan kaki disertai dentingan sendok terdengar dari lantai papan rumah Wak Jum. Tak lama berselang, perempuan tua itu tiba dengan nampan yang telah berisi minuman dan makanan.
Aku berdiri hendak menolongnya tetapi dia menolak dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Dua buah teh hangat dan sepiring pulut kuning tersaji di atas meja. Aroma jahe menguar beradu dengan aroma kunyit, membuat air liurku berkumpul di dalam mulut. Dengan cepat aku menelannya dan memandang heran dengan menu yang dihidangkannya kali ini. Sungguh istimewa.
“Ayo di makan, Karmila. Ini Wawak buat sendiri, teh jahe dan pulut kuning,” jelasnya lalu menyodorkan piring batu putih itu ke dekatku.
Aku tersenyum menerima dengan kelapangan hati, maklum aku juga belum makan sedari siang.
“Sebelum makan, maukah kau mengaminkan doa yang akan Wawak ucapkan ini,” pintanya dengan mata berbinar.