Dua minggu setelah kepergian Leha, aku sudah mulai biasa sendiri. Pergi sekolah sendiri begitu juga dengan mengerjakan tugas. Tak ada lagi teman berbagi kisah.
Leha bagiku sudah seperti saudara kandung. Selain karena sifat dan sikapnya lebih dewasa juga karena kami memiliki hubungan darah. Wak Jum merupakan sepupu jauh dari kerabat ibuku.
Kepergiannya yang tiba-tiba tidak hanya membuat suasana kelas menjadi berbeda juga posisi diriku yang semakin tidak diperhitungkan. Aku yang bukan siapa-siapa, yang tidak pernah juara kelas, tidak pernah ikut dalam perlombaan apapun dan selalu menjadi yang terakhir. Bahkan seingatku untuk tampil di muka kelas saja bisa dihitung dengan jari. Ini semua membuat aku semakin tidak percaya diri.
Sekarang aku telah duduk berdampingan dengan Mardiah. Dipindah dudukkan oleh wali kelas. Ini bertujuan agar aku bisa menyusul ketertinggalan pelajaran. Ada teman untuk memberi penjelasan ulang mengenai materi pelajaran. Setidaknya itu yang kutangkap dari perkataan Bu Jannah tempo hari.
Aku hanya mengangguk lalu mengikuti semua perintah dari beliau. Meskipun aku tahu Mardiah adalah teman sekelas yang terkenal sombong .
Tak pernah sehari pun dia lupa memamerkan barang barunya meskipun jika itu hanya sebuah pena.
Ah, sekolah sekarang bagiku hanya tempat mengisi waktu saja. Tak ada lagi kebaruan yang kudapat di sana. Semuanya hanya tentang Mardiah yang kerap menyombongkan kekayaan bapaknya.
Sekarang aku lebih senang menikmati senja, menunggu Paman Ong pulang melaut lalu kami bercerita tentang luasnya samudera dan indahnya alam.
**
Dua buah pompong menepi di bibir pantai seiring berhentinya suara mesin perahu kayu tersebut. Seketika deburan ombak naik setinggi betis orang dewasa membuat air asin itu masuk ke dalam perahu.
Lima lelaki dewasa dengan cekatan melabuhkan ikatan lalu mengeluarkan semua hasil tangkapan ikan sore itu.
Aku berlari kecil mendekat ke arah pompong seraya memanggil nama Paman Ong dengan lantang. Langkahku lebar-lebar seiring percikan air yang mengenai setengah badan.
Lelaki berkulit hitam legam itu menampakkan deretan gigi putihnya dan membalas lambaianku. Kemudian, tangan kanannya menaikkan seekor ikan besar hasil tangkapannya. Peluh bercampur air laut membuat tubuh tegapnya bersinar diterpa sinar mentari sore.
Aku tertawa dan semakin mempercepat derap langkah. Paman Ong selalu menepati janji. Tak pernah sekali pun lelaki berambut keriting itu lupa akan kata yang pernah terucap dari bibirnya.
Ikan kakap merah. Sudah lama aku menginginkan ini. Setelah Mardiah—teman sekolahku--selalu memamerkan makanan itu ketika makan siang.