Elok nian sore di dermaga. Sinar mentari menembus celah awan yang seputih kapas menuju deburan ombak yang tenang . Angin semilir meningkahi pucuk-pucuk pohon menyentuh ujung penaku yang tengah bekerja menuliskan asa di atas kertas
Tak ada kegiatan penting di sore ini. Aku duduk di muka rumah seraya menikmati pemandangan alam. Meskipun laut tak pernah berubah posisi, ombak selalu bernyanyi, tak ada kata jenuh bila memandang laut di kala senja. Semburat jingganya melarutkan semua kesedihan lalu mengubahnya menjadi semangat untuk memulai hari esok.
Kutuliskan semua mimpi yang ingin kupeluk dalam buku harian. Berharap Tuhan membacanya dan segera mengabulkannya. Seperti harapku pada kakap merah yang lalu. Walau ternodai oleh penuturan Mardiah. Setidaknya aku percaya Tuhan masih ada.
Aku mendesah napas dengan panjang. Setelah kejadian itu, aku tak banyak bercakap-cakap dengan Mardiah. Kubiarkan dia dengan ocehan dan mulut besarnya. Beruntung Bu Guru Jannah memindahkan tempat dudukku ke deretan paling belakang.
Aku senang mendapat kursi baru itu. Dari belakang aku bisa melihat semua gerak-gerik teman dan sebaliknya mereka tak dapat mengetahui apa yang aku lakukan. Teman terdekatku adalah Mia teman yang periang meski status rangkingnya sama denganku deretan terakhir di kelas. Hal itu tidak menjadi masalah besar justru didekatnya aku bisa lebih mengenal teman-teman lain.
Mardiah seolah lupa padaku. Sesekali dia hanya melirikku lalu tersenyum kecut. Kemudian, sibuk bercerita dengan teman yang lain.
Ah, aku sudah tak peduli lagi. Kubiarkan katanya melangit lalu berharap terbang di terpa angin puting beliung. Meskipun agak sulit mengharap itu terkabul karena sekarang seluruh kelas sudah tahu bahwa Pamanku punya banyak hutang ke Bapaknya.
Toha Baidur Pompong itulah nama Bapaknya. Kata pompong memang disematkan oleh warga kampung sebagai tanda bahwa lelaki tambun itu adalah pemilik hampir semua pompong di kampung ini. Keberadaan keluarganya juga diperhitungkan di sekolah karena mereka sering memberi bantuan untuk kegiatan-kegiatan di sekolah.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menebalkan muka dan menutup telinga. Biarlah! Bagaimanapun kenyataannya memang seperti itu. Pamanku memiliki hutang. Namun, bukankah semua pekerja di bawah pimpinan Pak Toha memiliki hutang?
Aku sering dengar itu dari Paman. Bahwa setiap bulan hampir seluruh pekerja pompong dipotong gajinya untuk melunasi hutang yang telah diambil lalu mengapa aku saja yang menjadi bahan pembicaraan?
Akhirnya aku sering mengasingkan diri di perpustakaan lalu larut dalam dunia kata. Membaca dan membaca. Kuhabiskan waktu istirahat di dalam ruangan kecil ini. Menjelajah dunia tanpa berpindah tempat dan ternyata mengasyikkan. Setiap kata yang terangkai menyentuh semua panca indera, seolah-olah aku larut dalam setiap aksara.
Dan pada akhirnya hanya imajinasi yang mampu menemaniku. Kata itu terangkai dengan cepat ketika sebuah buku tamat aku baca.
Buku adalah teman terbaik dalam kesendirianku. Bersamanya waktu terlewati tanpa beban. Aku bisa berkelana ke negeri mana pun yang akumau.
Perpustakaan kecil sekolah itu menjadi tempat favorit ku. Duduk di sudut paling belakang dengan sebuah buku. Buku apa saja lalu aku akan meminjam satu buah buku lainnya untuk dibawa pulang.
Tak banyak buku di perpustakaan kami, beruntung sekali dua minggu sekali perpustakaan keliling singgah ke sekolah. Mobil pembawa buku itu memiliki buku yang beragam. Aku senang sekali. Namaku selalu ada dalam daftar peminjam buku.
Entah mengapa buku dongeng menjadi favoritku kali ini. Beberapa kali aku menanyakan ke Pak Karim—petugas perpustakaan keliling—agar membawa buku-buku dongeng yang lain.