Gravitasi Cinta

Rosna Deli
Chapter #4

#4 Harap

Sejak pertama melihatnya di upacara bendera sekolah, hatiku telah terlambat oleh Hanafi. Abang tingkat yang tempo hari bertindak sebagai pemimpin upacara. Saban malam perasaanku tak karuan dibuatnya. Melihat dia tegap berjalan dadaku bergemuruh kencang. Melihat tangan kanannya memberi hormat, mataku tak mau lepas memandang. Amboi, seolah jantungku hendak lepas dan tak mau bernapas.

Rupanya, tak ada yang lebih aneh dari orang ketika jatuh cinta. Semua tampak indah dan memesona. Segalanya berubah menjadi lebih baik.


Rumah papan yang kutempati ini serasa istana Putri Jasmine. Megah tanpa cela. Daun jendela yang telah lapuk terlihat sangat simetris dan harmonis. Gorden merah bata yang telah pudar warnanya tampak berkilau menghadirkan bunga-bunga dengan aroma harum sepanjang masa.


Aku bahkan betah berlama-lama berkurung diri dalam kamar seraya menuliskan semuanya tentangnya. Ya, hanya tentangnya.


Lelaki yang mampu mendobrak pintu rindu yang dulu telah lama terkunci. Lelaki yang tanpa banyak tanya menghadirkan simfoni merdu yang selalu dirindu.

Ya, dia adalah Hanafi, lelaki yang berhasil membuatku tersipu tanpa dia tahu. Lelaki yang bila berbicara padaku selalu menghadirkan binar mata yang indah. Tak ada rasa curiga apalagi prasangka.


Terlebih pertemuan tak sengaja di perpustakaan itu menambah referensi tentang arti rindu.


“Kita tak bisa melarang orang untuk tidak menjelekkan kita, Mila,” ucapnya suatu hati ketika tanpa sengaja dia menemukanku di balik buku perpustakaan.


Kalimat itu terucap olehnya ketika dia tahu bahwa aku tengah menghindar dari teman-teman yang lain. Berita tentang utang pamanku yang banyak membuat aku malu dan tak mau bergaul dengan teman yang lain.


“Namun, kita punya kuasa untuk tidak mendengarkannya, bukan?”


Kepalaku tertunduk, menatap lantai ruang baca ini yang telah berlubang di sana-sini. Aku memilin ujung baju lalu berusaha terlihat santai.


“Kau sangat cantik bila tersenyum, Mila." Hanafi berujar tepat di telingaku. Seketika debaran jantungku bertalu begitu laju. Aku menahan napas agar lelaki hitam manis itu tak mendengar degupan yang semakin keras terdengar.


Hanafi memutar badan sepertinya dia telah sampai di muka pintu ketika kudengar langkah kakinya kian menjauh. Aku menolehkan kepala untuk melihat dia pergi. Bahkan, punggungnya saja mampu membuat senyumku mengembang lama.


Astaga. Ternyata Hanafi masih berdiri terpaku di muka pintu sambil melambaikan tangannya. Dia tersenyum lalu mengacungkan jari jempol tanda setuju ketika aku membalas senyumannya.

 **

Namanya berulangkali kutulis di buku harian. Seumpama obat yang harus dimakan tiga kali sehari agar sembuh dari penyakit. Begitu juga aku merangkai namanya dalam buku, menambah semangat dan pengharapan. Bahwa ternyata, aku layak untuk dicintai. 


Tak ada yang tahu, bahkan sku yakin Hanafi pun tak tahu tentang rasa yang terpendam ini . Aku menyimpannya rapat-rapat agar semua berjalan seperti apa adanya. 


Ternyata Kawan, memiliki harapan dalam hidup seumpama memegang potongan kayu ketika badan terseret ombak di lautan. Ia bak penyangga tubuh yang lemah bersamanya secercah semangat hadir.

Lihat selengkapnya