Cibiran Mardiah tempo hari masih terngiang-ngiang di telingaku. Seolah-olah perkataannya menyusup ke setiap sel di dalam darah lalu memaksa mataku untuk enggan tertutup jika malam tiba. Aku menjadi susah tidur, jikalau tertidur maka mimpi yang kualami kian ganjil.
Mimpi-mimpi itu sungguh mengganggu rutinitasku selanjutnya. Aku jadi malas ke sekolah dan enggan membantu pekerjaan rumah.
Bibi Jen seolah tahu apa yang tengah terjadi. Maksudku sesuatu tengah terjadi padaku. Aku tidak memungkiri itu. Perasaanku pada Hanafi jelas bukan sebuah kesalahan, bukan?
Apa salahnya jatuh hati? Toh, selama ini aku tak pernah mengganggu kehidupan Mardiah. Apa Mardiah juga menaruh hati pada lelaki itu?
Aih, jika iya. Betapa kecilnya dunia, mengapa harus lelaki yang sama. Bukankah masih banyak orang lain yang lebih sempurna dari Hanafi. Ada si Wan Ahmad, Hamid, atau siapapun asal bukan Hanafi.
Aku menyandarkan punggung ke dinding kamar. Sungguh permasalahan ini kian rumit saja. Kepalaku masih pusing akibat tak mampu tidur nyenyak tadi malam ditambah desingan nyamuk yang tak jua berhenti mencari mangsa.
Seberkas cahaya masuk melalui kisi-kisi jendela, membentuk siluet panjang hingga menyentuh tepi ranjangku. Aku berdiri membuka jendela dan berharap udara pagi mampu melerai sedikit kerumitan yang tengah aku alami.
“Karmila, kemari sebentar!” Suara Bibi Jen dari luar menyentakkan lamunanku. Segeraku kusisir rambut yang masih berantakan dan menuju asal suara.
“Tolong, antarkan ini ke rumah Tuk Man, ya. Mereka pesan kerupuk ikan buatan Bibi,” ucap Bibi seraya menyerahkan dua bungkus plastik besar berwarna hitam.
Aku mengangguk lalu segera mengerjakan perintah.
Membuat kerupuk ikan adalah keahlian Bibi Jen. Setelah pulang dari negeri seberang selepas menjadi TKW dahulu, dia belajar dari ibuku. Kemudian, karena kekurangan modal Bibi jen bekerja pada orang lain sebagai buruh pembuatan ikan asin.
Segera kukayuh sepeda menuju rumah Tuk Man. Tuk Man sendiri merupakan salah satu tetua di kampung kami. Menurutku Tuk Man memesan kerupuk hanya sebagai sarana untuk sedikit membantu perekonomian kami yang sedang susah. Namun, bukankah rezeki itu memang begitu jalannya?
Ah, sudahlah aku tak terlalu peduli.
Desiran angin menemani pagi yang cerah ini. Mentari menyapa dengan teriknya. Aku mengayun secara perlahan sepeda seraya bersenandung kecil.
Rumah papan besar berwarna biru muda sudah semakin terlihat. Pohon mangga di depannya sebagai tanda rumah Tuk Man. Sudah lama juga rasanya aku tak mampir ke sini. Dahulu, sewaktu masih belajar mengaji, saban sore kami anak-anak kampung datang ke rumah Tuk Man untuk mengaji.
Namun, belakangan kondisi kesehatan lelaki enam puluh tahunan ini sudah kurang sehat. Sehingga, beliau tidak mampu lagi mengajar anak dalam jumlah yang banyak. Paling banyak hanya tiga orang saja itupun yang benar-benar bebal bila diajar oleh Pak Syam, imam masjid kampung.
Pikiranku menjadi bercabang ketika sampai di muka rumah Tuk Man. Ada apa gerangan? Mengapa banyak sepeda dan sandal di sini? Apa mungkin ada niatan acara atau apa?