Gravitasi Cinta

Rosna Deli
Chapter #6

# Pikiran itu bekerja, Kawan

“Kau saja yang pergi ke sana, Mila. Bibi kurang enak badan,” jawab Bibi ketika kukatakan undangan Nenek Hasanah perihal acara mendoa Tuk Man.


“Benar, Bibi. Aku diizinkan.” Aku berseru tak percaya seraya memegang erat pergelangan tangannya dan mengulangi pernyataan itu hingga tiga kali.


Alis Bibi bertaut tak mengerti akan sikapku yang kegirangan.


“Memang sejak kapan Bibi pernah melarangmu untuk pergi ke rumah Tuk Man. Sudah sana, Bibi mau istirahat.” Perempuan bertahi lalat di pipi itu menepis tanganku dan menuju kamarnya.


Dadaku seolah hendak pecah saat Bibi memberi lampu hijau untuk kepergian nanti malam. Seribu angan melayang ke angkasa bersama dengan sejuta mimpi yang langsung terangkai. Pipiku terasa mengembang saat karena terlalu sering mengumbar senyum.


Kubuka lemari baju dan segera mencari baju apa yang pantas untuk dikenakan nanti malam. Setidaknya, dalam pikiranku haruslah berwarna cerah dan masih bagus tentunya. Selain itu, baju ini harus mampu mempresentasikan kegembiraan hatiku agar Hanafi tahu aku menunggu malam ini seolah sedang diajak kencan.


Ya ampun. Aku menepuk dahiku sendiri. Kencan. Mana mungkin. 

“Ini hanya pengajian biasa, Karmila." Aku mengingatkan diri sendiri lalu tertawa.


Tak banyak pilihan baju yang kupunya. Sebuah baju melayu sekolah berwarna biru muda, sebuah baju melayu bermotif bunga mawar, dan gamis cokelat hadiah dari kenalan Bibi Jen. Baju yang terakhir masih bagus, walaupun aku yakin itu hanya baju bekas anaknya yang sudah tak muat lagi.


Aku mendesah napas kecewa. Kubongkar semua isi lemari berharap ada baju yang lain. Meskipun aku tahu itu tidak ada. Namun, aku menolak kenyataan ini.


Aih, sial benar nasib ini. Sesekali diundang pujaan hati rupanya tak ada yang mendukung. Bahkan baju bagus pun aku tak ada.


Kususun kembali baju dengan rapi lalu mulai merenung apa benar aku harus datang. Bukankah biasanya pengajian selepas Isya hanya untuk para Bapak?


Aku tak mungkin mengajak Paman Ong, karena sudah dipastikan dia tak akan mau. Pengajian itu baginya tak menarik. Bahkan aku tak pernah melihat Paman Ong melaksanakan salat lima waktu. Aih, sudahlah mungkin hidayah belum singgah di hatinya.

Aku merebahkan diri ke atas kasur lalu mengenang kejadian indah di rumah Tuk Man tadi.

“Aku tak menyangka kau ada di sini, Mila,” ucap Hanafi ketika kami tengah memasukkan ayam yang telah dipotong ke dalam baskom. 


Aku hanya tersenyum tak tahu harus jawab apa.


“Kalau kutahu kau datang aku pasti akan lebih baik.” Hanafi memperbaiki celemeknya lalu tersenyum.


“Benarkah? Aku juga berpikiran hal yang sama,” jawabku tanpa memandangnya seolah aku berbincang dengan potongan ayam tanpa bulu.


Aku mengulum senyum saat percakapan di rumah nenek Hasanah tadi terngiang-ngiang di kepala. Kejadian itu memantapkan keputusanku untuk datang nanti malam.


Lihat selengkapnya