Grey Fox Man

Adinda Amalia
Chapter #1

Chapter 01: Rubah Perak Penyendiri

Kitsune tte fushigi da yo ne. Itsumo hitori de shizuka na noni… sukina aite ni wa yatarato urusakute betabeta suru.

Rubah itu aneh. Mereka selalu menyendiri dan pendiam… tetapi bisa berisik dan lengket sekali kepada orang yang mereka sukai.


Satu lagi ranting pohon disingkirkan ke samping. Sepasang kaki kecil kurang teliti, tetapi lincah, melangkah melalui tanah agak lembab dan batu-batu sepanjang bukit. Terkadang nyaris terjatuh, tetapi selalu bisa segera menyeimbangkan butuh kembali.

Pelipis basah oleh keringat. Rambut hitam panjangnya sebagian menempel ke wajah dan leher. Rok berlapis setinggi lutut, kotor sedikit oleh tanah. Alis berkerut dan bibir manyun saat lebih banyak tenaga dikerahkan. Lelah tidak akan diakui, lebih ingin untuk terus berjalan dan berjalan. 

Sepasang komainu berbentuk patung rubah berdiri bersebelahan. Di belakangnya ada gerbang torii berwarna merah, berjajar ke belakang hingga tujuh lapis. Mengawal jalan menuju tangga panjang menjulang yang kemungkinan besar akan membawa menuju puncak bukit.

Wajah penuh dedikasi anak itu berubah menjadi senyuman riang sangat lebar. Buru-buru mempercepat langkah menjadi lari kecil, melalui patung rubah, jejeran gerbang torii, lalu menaiki satu demi satu anak tangga panjang.

Tepat saat akhirnya melewati anak tangga terakhir, dia berhenti. Sepasang mata lebar berbinar-binar. Di hadapannya, halaman luas membentang. Di tengah sana, ada haiden, sebuah bangunan dari kayu tebal dengan atap segitiga lebar, melindungi dengan sempurna. Berwarna coklat khas kayu dengan ornamen-ornamen keemasan. Itulah tempat orang-orang memberikan penghormatan dan mengucapkan berbagai doa kepada Kami.

Di belakang, ada bangunan cukup mirip, tetapi lebih kecil. Honden namanya.  Bangunan paling keramat dalam suatu kompleks kuil karena merupakan tempat Kami disemayamkan, diwakili oleh sebuah patung rubah putih menutup mata sehingga terkesan seperti sedang tersenyum, yang tersimpan di dalam sana.

Hakuunzan Jomyo-gu. Kuil sederhana jauh di puncak bukit. Setiap hari, hanya orang-orang sebuah desa di kaki gunung yang akan berkunjung. Pemukiman lain letaknya begitu dan telah memiliki kuil tersendiri.

Mereka biasanya datang untuk memberikan penghormatan dan berdoa sebentar di pagi hari, lalu kembali lagi ke desa melaksanakan pekerjaan, seperti mengurus sawah, ladang, kebun, ternak, berjualan, dan sebagainya. Karena tidak banyak pengunjung, para pengurus kuil—terdiri dari para kannushi atau pendeta dan asistennya, miko—juga hanya datang sebentar ketika pagi hari.

Nenek selalu melarangnya untuk mengunjungi Kuil Hakuunzan Jomyo-gu karena letak yang begitu jauh di puncak bukit dan berupa hutan sepanjang jalan. Yah, memang sudah menjadi kebiasaan penduduk desa bahwa anak-anak dan lansia tidak disarankan ikut mengunjungi kuil karena treknya terlalu menantang.

Namun, anak kecil ini juga mau mengunjungi kuil seperti para orang dewasa. Lagi pula, di siang hari seperti sekarang, para orang dewasa dan pengurus kuil yang berkunjung telah kembali ke desa. Anak itu akan dapat datang diam-diam dengan aman tanpa seorang pun melihat.

Buru-buru, dia menuju chozuya, sebuah pavilion air di muka halaman, untuk membersihkan kedua tangan dan mulut. Awal mula dari rangkaian tata cara penghormatan dan berdoa kepada Kami—dia sudah sering melakukannya selama di kota sehingga telah familiar.

Selanjutnya, dia menuju halaman depan haiden. Di sana, dia membungkuk sedikit sebentar, lalu bangkit kembali. Koin di saku pakaian diambil, lalu dilemparkan ke dalam kotak. Setelahnya, dia meraih lonceng yang digantung di ujung atap haiden untuk dibunyikan tiga kali—sebagai tanda pemberitahuan kepada Kami bahwa seseorang datang.

Lihat selengkapnya