Bunga-bunga seluas ladang berayun pelan oleh buaian lembut angin musim panas. Ujung desa. Berbatasan langsung dengan hutan seluas sisa bagian bukit. Di sinilah titik terakhir harus dipastikan benar-benar tidak ada seorang pun di sekitar melihat, bila ingin diam-diam mengunjungi Kuil Hakuunzan Jomyo-gu.
“Haruka!” Kepala seorang anak lelaki tiba-tiba menyembul dari celah bunga-bunga matahari. Topi agak usang dipasang terbalik di kepala. Ujung rambut pendek lembab oleh keringat. Dia cekikikan, berhasil mengejutkan temannya.
“Ren!” Anak itu buru-buru meletakkan jari di depan bibir, memintanya untuk diam. “Dan, jangan bermain di bawah kebun bunga matahari seperti itu. Ayahmu akan marah lagi, lho.”
Si anak lelaki tergelak. “Tak masalah! Ayah kan tidak lihat. Kau sendiri, diam-diam mengunjungi kuil.” Ren berjalan sedikit untuk sepenuhnya keluar dari kebun bunga matahari. “Ngomong-ngomong, kau bertemu Kitsune-sama?”
Haru mengangguk. “Tetapi terkadang juga tidak. Kalau sedang begitu, bahkan aku sampai memanggil-manggil di sekitar honden, tetap saja Hakuyo-sama tidak keluar. Pintunya pun tertutup rapat.”
Ren menggeser sedikit posisi topi di kepala. Ingin memperbaiki agar lebih nyaman mungkin, tetapi nyatanya hanya terlihat makin berantakan. “Jangan-jangan, dia marah kepadamu. Kannushi-san juga sudah bilang, bukan? Kitsune-sama itu tidak suka didekati manusia.”
“Itu tidak mungkin! Aku yakin!” Haru meletakkan tangan di pinggang. “Hakuyo-sama itu Kami yang baik!” katanya. “Kami yang baik tidak mungkin jahat. Lagi pula terkadang dia masih mau muncul kok.”
“Kau hendak berkunjung lagi?” Ren menatapnya.
Haru mengangguk.
Si anak lelaki kemudian memetik salah satu bunga matahari. “Kuberikan padamu. Untukmu, bukan Kitsune-sama. Bila kau memberikan sesuatu yang belum tentu disukai olehnya, bisa-bisa dia marah.”
Haru cemberut, tetapi sambil menerima bunga matahari. “Sudah kubilang, Hakuyo-sama itu tidak jahat! Jadi, tidak mungkin marah!”
“Kannushi-san bilang bahwa Kitsune-sama itu galak!” Ren menggerutu, agak kencang. Bukan benar-benar marah, melainkan hanya ingin mengingatkan Haru. Toh, wajahnya juga tetap saja menggemaskan.
Haru mengangguk-angguk, ingin terlihat bijak. “Kannushi-san, para paman dan bibi di desa boleh berkata demikian. Namun, aku juga punya kata-kataku sendiri. Dan saat ini, aku lebih yakin akan kata-kataku.”
Ren mengerutkan alis, memikirkan apa yang barusan diucapkan temannya. Ide milik Haru terdengar menyenangkan, tetapi dia juga masihlah sangat ketakutan bila membayangkan Hakuyo no Kitsune sesuai cerita para orang dewasa di desa.
“Kalau begitu, aku akan menuju kuil.” Haru memegang bunga matahari di tangan makin erat, lalu berlari kecil memasuki hutan. Dia menoleh sebentar untuk melambai. “Rahasiakan ini ya, Ren?”
“Tentu!” seru Ren, melihat temannya menghilang di antara pepohonan tinggi. “Nanti sore jangan lupa datang ke danau! Kita sudah berjanji kepada Aiko untuk bermain bersama!”
“Aku ingat kok!” Haru membalas dengan seruan pula dari kejauhan.
Anak itu menyusuri hutan-hutan cukup lincah, tanpa ragu. Kesulitan selalu ada. Bebatuan, tanah tidak rata, serangga, ranting dan cabang pohon menghalau. Dia melangkah mengikuti jalan setapak, jejak bukti penghormatan orang-orang desa kepada Hakuyoshi-no-Kami selama ratusan tahun.
Senyuman anak itu mulai mengembang saat gerbang torii terlihat dari kejauhan. Lagi-lagi, dia berlari. Semangat menggebu seketika, seakan-akan mendorong untuk makin dan makin cepat.
Setelah mencapai anak tangga terakhir, binar-binar di wajahnya pecah oleh tawa cekikikan girang. Penuh semangat, tetapi tetap hati-hati dan teliti, dia memulai rangkaian penghormatan.
Membasuh di chozuya. Kemudian menghampiri halaman haiden. Membungkuk, melemparkan koin, membunyikan lonceng, membungkuk lagi, menepuk tangan. “Hakuyo-sama, kumohon datanglah ke desa! Terima kasih!” Terakhir, dia membungkuk sekali lagi.