Burung-burung kecil teberbangan, menghampiri cabang tertinggi pohon sakura di halaman depan Kuil Hakuunzan Jomyo-gu. Bersiul pendek beberapa kali, ceria. Cahaya matahari memeluk hangat dari ujung timur. Sesekali angin lembut membelai, segar.
Langkah samar-samar terdengar meniti tangga demi tangga menuju kompleks kuil. Kannushi berjalan paling depan. Pria usia tiga puluhan yang mewarisi peran pendeta Kuil Hakuunzan Jomyo-gu dari keluarga. Dia mengenakan hakama, semacam celana lebar menyerupai rok, berwarna putih. Atasannya kimono biru muda. Di kepala, ada topi hitam tinggi yang khas, disebut eboshi.
Di belakangnya, ada para miko. Dua gadis muda, remaja SMA dan seorang usia awal dua puluhan. Mereka mengenakan kosode, yaitu jubah putih, yang dimasukkan ke dalam hakama warna merah.
Kanushi dan para miko selalu datang lebih awal untuk membersihkan kuil, merapikan barang-barang, memastikan semua keperluan terkait penghormatan masihlah ada dengan layak.
Sekitar satu jam kemudian, barulah rombongan pria-pria dan para wanita dewasa penduduk desa menyusul. Berbaris dengan rapi dan penuh kesabaran, mereka berganti melaksanakan rangkaian penghormatan dan berdoa kepada Hakuyoshi-no-Kami.
Bagi penduduk biasa—bukan kannushi atau miko—sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk datang ke kuil setiap hari. Meski demikian, hampir tiap pagi mereka akan kompak memanggil dan mengajak satu sama lain untuk bersama-sama berkunjung ke kuil. Tanpa paksaan, murni karena ingin memberikan penghormatan kepada Kami.
Lonceng berdengung lagi dan lagi, dibunyikan oleh masing-masing orang. Menggema seluas kompleks kuil. Doa demi doa diucapkan bergiliran, sebagian meminta rejeki, ada yang menginginkan kesehatan, pula permintaan spesifik seperti ladang makin subur, panen berikutnya akan melimpah, nilai anaknya di sekolah menjadi lebih baik, atau lainnya.
Di sisi agak belakang, yang cenderung tidak pernah diinjakkan kaki oleh orang-orang, bangunan honden sunyi dan tenang—sedikit terlalu tenang daripada hari lain. Sama seperti biasa, hawanya seperti tak menginginkan siapa pun untuk mendekat. Begitu kontras dengan halaman depan kompleks kuil dan pelataran depan haiden yang saat ini terasa hidup oleh kehadiran orang-orang yang berkunjung.
Pelan-pelan, pintu honden terbuka dari dalam. Seorang pria melangkah keluar menuju beranda. Rambut panjang dan tujuh ekor seputih salju membelai kimono biru es yang memeluk tubuhnya dari leher hingga ujung kaki. Sepasang telinga menyerupai rubah dengan warna senada, tetap tenang saat hembusan angin tipis menerpa kembali.
Dari sisi samping haiden, beberapa orang muncul bergantian. Berhenti di sana untuk memeriksa. Begitu melihat keberadaan Hakuyoshi-no-Kami—sebisa mungkin tak menatap matanya—mereka akan membungkuk dalam-dalam selama beberapa saat. Kemudian, bangkit kembali, lalu beranjak meninggalkan kuil.
Hanya dengan Hakuyo berdiri di beranda honden, sepasang tangan di belakang, mereka sudah bisa merasakan betapa dia dingin dan tak ingin didekati. Haiden seolah-olah menjadi kesepakatan bersama tanpa diskusi, untuk menjadi batas akhir menginjakkan kaki apabila Kami sedang menampakkan wujud di sekitar honden.
Satu persatu, orang-orang mulai meninggalkan kuil. Pria-pria dewasa, para wanita, lalu terakhir, sepasang miko dan kannushi. Suara langkah mereka berangsur jauh dan makin jauh, menuruti tangga, menyusuri jalan setapak di bukit. Hingga akhirnya tak terdengar sama sekali.
Kuil menjadi sunyi kembali.
Begitu pula sampai matahari naik tepat lurus di atas bukit, turun kembali menyusul senja hangat yang terasa kosong, hingga digantikan oleh bulan bersama langit malam dan bintang-bintang terang gemerlapan.
Fajar berikutnya datang kembali. Kannushi, sepasang miko, disusul pria-pria dewasa dan para wanita berkunjung seperti biasa. Memberikan rangkaian penghormatan—termasuk membunyikan lonceng yang bunyinya selalu menggema setiap pagi—dan doa-doa tulus penuh kesungguhan.
Dari beranda honden tempat Hakuyoshi-no-Kami, terlihat orang-orang yang telah selesai dengan rangkaian penghormatan muncul di sisi haiden untuk membungkuk dalam-dalam sesaat. Kemudian pergi untuk bergantian dengan lainnya.
Sayup-sayup, obrolan seorang pria dewasa di halaman depan kompleks kuil terdengar. “Haruka, cucu dari Nenek Emi?”
“Benar.” Ganti suara Kannushi terdengar. “Kemarin, dia bernyata kepadaku tentang apa saja yang disukai oleh Hakuyoshi-no-Kami. Aku menjawab pertanyaannya, karena kupikir apa salahnya bagi seorang anak kecil untuk mempelajari tentang Kami yang menjaga bukit dan desa neneknya. Namun, saat dia pamit dengan wajah berubah menjadi sangat riang—bahkan kelewat riang bagi seorang anak yang hanya ingin mengetahui hal baru—aku mencurigai sesuatu. Jadi, aku mengawasi dari gubuk kecil samping kebun bunga matahari Pak Hirano di perbatasan desa dengan hutan bukit. Benar saja, aku menangkap anak itu berusaha menyelinap menuju kuil. Saat kutanya, ternyata dia telah sering kemari diam-diam.”
“Kasihan juga. Sesungguhnya memang sangat baik bagi anak-anak untuk mengenal kuil sejak kecil. Bukankah begitu, Kannushi-san? Andai jalurnya tidak berisiko,” jawab pria itu lagi. “Oh, iya. Mengapa tidak kau temani saja anak itu setiap kali ingin kemari?”