Tawa cekikikan tiga anak kecil menghias pohon-pohon tinggi sepanjang jalan setapak di bukit. Fajar kali ini, di belakang Kannushi bukanlah sepasang miko, melainkan putrinya sendiri, Matsushita Aiko, dan putra dari pemilik kebun bunga matahari di perbatasan desa dengan hutan bukit, Hirano Ren. Lalu, tentu saja, anak kecil super penasaran yang hanya akan tinggal di desa selama liburan musim panas—sekaligus pelaku mengekornya dua anak lain—Sakurai Haruka. Di belakang trio mungil itu, barulah ada para miko, mengawasi mereka selagi Kannushi memimpin jalan.
Ai, gadis kecil lemah lembut. Terkadang pemalu dan penakut, tetapi itu justru membuatnya makin menggemaskan. “Masih jauh, Ayah? Aku lelah….”
Alih-alih, Ren menyahut lebih dulu. “Kemarilah, Aiko! Aku akan menggendongmu di punggungku!” Sepenuhnya berbeda, anak lelaki ini sedikit pun tenaganya tak terlihat habis. Seiring mereka memasuki bukit lebih jauh, sejak tadi hanya malah makin bersemangat.
Ai sempat ragu. Namun, karena ayahnya tersenyum sambil mengangguk, dia menurut untuk naik ke punggung Ren. Si anak lelaki memegangnya erat, lalu melanjutkan langkah benar-benar tanpa kesulitan sama sekali. Dia tertawa lantang—tetapi menggemaskan—merasa bangga karena bisa membantu temannya.
“Di sini, Aiko turun sebentar,” kata Kannushi, berhenti saat sampai di depan gerbang torii. “Membungkuklah sebelum memasuki gerbang torii dan berusaha sebisa mungkin untuk berjalan di tepian. Karena tengah jalan dan torii ditujukan sebagai jalur yang dilewati oleh Kami, bukan manusia,” tambahnya. “Paham, Anak-anak?”
Ai dan Ren kompak mengiyakan. Ai dengan lemah lembut. Ren dengan penuh semangat membara.
“Oh, Kannushi-san!” panggil Haru, wajahnya khawatir dan gelisah. “Dahulu, saat pertama kali kemari, aku sangat bersemangat untuk melihat Kuil Hakuunzan Jomyo-gu. Jadi, aku berlari kencang sampai-sampai lupa untuk membungkuk dan berjalan di tepian.”
Kannushi menatapnya. “Sudah meminta maaf kepada Hakuyoshi-no-Kami-sama terkait hal itu?”
Haru menggeleng, menatapnya penuh harap agar Kannushi bisa membantu. Dia menjadi terpikir ucapan Ren hari lalu. Apa mungkin Hakuyo memang benar marah kepadanya? Bukan hanya karena dia sering berusaha mengajaknya bicara, tetapi juga karena tidak sopan di hari pertama berkunjung?
Pelan, Kannushi menepuk puncak kepala anak itu. “Saat memberikan penghormatan nanti, sampaikan juga permintaan maafmu.”
Haru buru-buru mengangguk.
Setelahnya, mereka melakukan sesuai ucapan Kannushi. Membungkuk di depan gerbang torii, lalu berjalan masuk melewati pinggir, dan meniti tangga tanpa terburu-buru.
Setelah memasuki kompleks kuil, mereka membasuh di chozuya, lalu memulai rangkaian penghormatan secara bergantian satu persatu. Dalam gilirannya, Haru mengucapkan, “Aku harap semua orang di desa bisa mengetahui betapa baiknya Hakuyo-sama. Oh, iya, Hakuyo-sama, maafkan aku karena telah tidak sopan saat melewati gerbang torii di saat pertama kali berkunjung kemari. Terima kasih, Hakuyo-sama.” Terakhir, dia membungkuk sekali lagi.
Setelah mereka semua selesai, Kannushi dan kedua miko mulai membersihkan dan merapikan area kuil. Sementara ketiga anak kecil berjalan memutar haiden untuk menuju bangunan lain di belakang. Pintu honden tertutup kali ini, tetapi Haru tetap berjalan ke sana.
Ren awalnya ragu, tetapi rasa ingin tahunya menjadi lebih kuat saat melihat kepercayaan diri Haru untuk melangkah. Sementara, Ai, mengekor paling belakang, sesekali menoleh ke bangunan haiden berusaha mencari ayahnya untuk memastikan bahwa semua ini baik-baik saja—tetapi Kannushi dan para miko sedang sibuk sehingga tidak memperhatikan trio mungil ini.
“Haruka… Ren… bukannya Hakuyoshi-no-Kami-sama itu galak? Ayah berkata demikian.” Suara lembut gadis mungil itu terdengar ketakutan, dia mengikuti langkah mereka sambil menggenggam masing-masing ujung lengan Haru dan Ren.
“Paman dan bibi di desa juga bilang begitu,” sahut Ren, lalu cekikikan. “Namun, kalau belum melihat sendiri, kita tidak akan tahu! Lagi pula, Haru bilang sudah pernah beberapa kali berbicara dengan Kitsune-sama! Jadi, kupikir, mungkin dia tidak segalak itu.”
“Hakuyo-sama!” Haru, yang paling yakin di antara mereka bertiga, menyeru tepat lurus dengan pintu honden setelah mereka berhenti tepat di depan beranda bangunan. “Kami berkunjung, Hakuyo-sama! Ren dan Aiko juga datang!”
“Kami membawa kitsune udon dan kitsune soba!” seru Ren.
Pelan-pelan, pintu honden terbuka dari dalam. Seorang pria dengan kimono biru es khasnya berdiri di ambang pintu. Kedua tangan di belakang tubuh, berwibawa. Mata emas pucat menatap dingin. Tujuh buah ekor panjang dan lebar seputih salju berayun sedikit, mekar dengan gagah. “Tidak perlu berteriak,” katanya dengan datar.
Senyuman di wajah Haru merekah tinggi-tinggi. “Selamat pagi, Hakuyo-sama!”
“Selamat pagi, Kitsune-sama!” Ren menyeru sambil melompat, tak mau kalah.
Ai buru-buru bersembunyi di balik punggung Haru, menengok sedikit dari pundak temannya. “Selamat pagi, Hakuyoshi-no-Kami-sama…,” katanya pelan. Memandang pria itu secara langsung hanya membuat si gadis mungil makin ketakutan.
Di sisi haiden, agak jauh dari mereka, Kannushi muncul dan berdiri di sana. Dia bergegas membungkuk dalam-dalam, lalu bangkit kembali. Wajahnya sudah pucat bukan main. Dia membisik, tetapi tegas, “Haruka, Ren, Aiko, kembali…!” Kecolongan tiga anak itu tahu-tahu sudah berada di depan honden, apalagi berbicara kepada Hakuyoshi-no-Kami, benar-benar kelalaian besar Kannushi akibat terlampau fokusnya membersihkan kuil sampai tak sadar bahwa pagi ini ada tiga manusia mungil ikut bersamanya.
Mata tajam Hakuyo bergeser kepada Kannushi. “Tak masalah.”
Kannushi sungguh tersentak untuk sesaat. Selama lebih dari tiga puluh tahun hidup—dan hampir separuhnya dihabiskan untuk mengabdikan diri mengurus Kuil Hakuunzan Jomyo-gu, ini adalah pertama kalinya Hakuyoshi-no-Kami berbicara kepadanya.
Kannushi langsung membungkuk dalam-dalam kembali, tak berani menatap matanya. “Baik, Hakuyoshi-no-Kami-sama…,” katanya lirih, tak yakin apakah harus menjawab secara lisan atau cukup membungkuk saja. Pasalnya, seperti yang dia dan para orang dewasa di desa ketahui, selama ini Kami mereka dikenal tidak ingin didekati manusia sama sekali—dalam artian termasuk interaksi.
Hakuyo menggeser pandangan pada ketiga anak di depan bangunan honden. Si lelaki kecil cenderung kasar dan energi meledak-ledak, tetapi terlihat baik hati dan tulus. Dua gadis mungil; satunya murah tawa riang dan seringkali girang oleh hal-hal sederhana, satunya bersembunyi ketakutan.
Hakuyo masih diam.
Tahu-tahu keadaan sudah jadi begini.
Haru menunjuk teman-temannya bergantian. “Hirano Ren, dia yang memberiku bunga matahari waktu itu—Anda mengingatnya, Hakuyo-sama? Kalau ini Aiko, putrinya Kannushi-san. Dia penakut. Jadi… Hakuyo-sama, Anda sebaiknya jangan terlalu dingin dan galak seperti itu.” Si anak manyun, mirip mamanya ketika mengomel.
Hakuyo tak mengindahkan. Alih-alih, dia mengulurkan dua tangan, mengisyaratkan Haru dan Ren untuk menyeramkan mangkok kitsune udon dan kitsune soba yang terbungkus plastik rapat—supaya tidak tumpah selama perjalanan—dengan masing-masing sepasang sumpit.
Setelah menerima, Hakuyo membawanya sambil berjalan ke halaman belakang honden—di sana juga ada beberapa meja dan bangku taman seperti halnya di halaman depan. “Kemarilah.”