19 MEI 1953, DELHI, INDIA
Ratusan mayat bergelimpangan memenuhi sekolah itu. Bahkan di segala sudut, semua tubuh yang berbalut darah itu tergolek tak beraturan. Warna merah pekat masih mengucur menggenang, menjadikan pemandangan yang takkan pernah bisa dilupakan oleh siapapun yang menyaksikan. Sebuah sekolah SMA di pinggiran kota, menjadi wadah jasad-jasad tak bernyawa, tak ada yang tahu apa yang telah terjadi. Insiden mengerikan ini masih menjadi misteri.
24 MEI 1988, HO CHI MINH, VIETNAM
Kejadian itu terulang kembali. Pembantaian seluruh siswa dan guru terjadi lagi di sebuah sekolah favorit di kota. Sekolah itu kini tak ubahnya lautan darah yang membuat muntah. Kekejian tanpa rasa ampun membalut mayat-mayat di sana. Pembunuhan ini sangat tidak masuk akal bisa terjadi. Lagi-lagi misteri ini tak terpecahkan. Tak ada yang bisa menjelaskan bagaimana ini bisa terjadi dan siapa pelaku di balik ini semua? Kemudian kasus pun ditutup tanpa pengusutan yang jelas.
- CATATAN ALLAN BERNEAUD
10 MEI 2004, JAKARTA, INDONESIA
Sebuah pagi dengan sapuan mentari yang hangat. Langit biru cerah yang diolesi awan putih menjadi awal pagi yang sempurna untuk beraktivitas.
Menilik ke jalan raya, hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang dengan terburu-buru. Bukan ibu kota namanya jika keramaian dan kebisingan ini menghilang. Kesibukan pagi yang biasa. Rutinitas yang tak ada habisnya.
Di pinggiran trotoar, dua orang gadis berseragam putih abu-abu baru saja keluar dari toko alat tulis. Gedung sekolah yang megah itu sudah tertangkap oleh mata, jaraknya tak jauh lagi. Mereka berjalan santai sambil menenteng kantong plastik berisi foto kopian rangkuman materi.
“Hara, gue nggak ngerti deh, masak sih lo beli penghapus yang bentuknya bendera? Kayak bocah SD aja sih,” komentar siswi bernama Niar.
Gadis yang dipanggil Hara tengah menciumi penghapus barunya sembari berjalan pelan.
“Coba lo nyium penghapus ini deh. Wangi banget!” dengan sekejap Hara menempelkan penghapusnya ke hidung Niar.
Niar menepis penghapus itu, hidungnya ia gosok berulang kali dengan jari. Hara hanya cekikikan mendapati Niar yang menekuk wajahnya kesal.
Dari arah seberang, berjalan dua orang laki-laki bertubuh tinggi yang mana mereka adalah teman sekelas Hara dan Niar. Dengan cepat Niar melambaikan tangan ke arah mereka. Kedua laki-laki itu pun tak berapa lama telah bergabung untuk melangkah bersama.
Salah satu yang berwajah oval, berambut pendek berponi ala korea dengan kemeja seragam yang sengaja dikeluarkan itu bernama Gian. Siswa dengan kepribadian lumayan cuek, pendiam, dan tak banyak tingkah ini memiliki teman yang selalu mengekorinya, namanya Bastian―lebih akrab dipanggil Ibas. Mereka berdua sudah bersama sejak SMP tak aneh jika kedekatan mereka sudah seperti saudara. Namun, sifat mereka sangat berkebalikan seratus delapan puluh derajat, Ibas sendiri adalah orang yang heboh, periang, dan tukang ramai di kelas. Tipe orang supel dan mudah akrab dengan siapa saja.
Niar mendekat ke dua cowok itu. “Gian, Ibas, sini deh gue kasih tahu.”
“Eh, ada apa? Ada apa?” Ibas langsung bersiap menyimak.
“Jadi gini….”
Gian yang bermimik tak tertarik itu tersingkir ke sebelah karena Hara yang tiba-tiba melompat panik ke tengah-tengah mereka.
“Ng-nggak…!” Hara bergegas hendak menyumpal mulut Niar dengan tangannya, tapi dengan lincah Niar mengelak.