GRIM GAME

moris avisena
Chapter #4

Bab 4 - Jujur atau Mati

“Maksud game ini jelas sekali yaitu ajang mengumbar aib,” kata Ibas menyimpulkan.

Sasha yang telah menjadi mayat itu juga lambat laun menghilang seperti jasad tak bernyawa lainnya. Santi, teman paling akrab dan tempat Sasha meluapkan kesedihannya masih menangis sesenggukan. Ia meraba kursi kosong di sebelahnya. Masih hangat bekas tempat duduknya. Ironis sekali, padahal beberapa menit sebelumnya Sasha masih segar bugar. Otak yang menjadi wadah semua ingatan memutarkan banyak kenangan kemudian meresap ke dalam hatinya. Jelas kepergian sahabatnya membuat Santi begitu terpukul.

Dengan satu tarikan napas yang dalam, Santi berdiri meneriaki ke langit-langit, “Brengsek! Sialan! Malaikat pencabut nyawa anjing! Gue nggak terima Sasha diambil gitu aja! Anjiiing!”

Untuk beberapa waktu, Santi terus mengeluarkan segala unek-uneknya meski suara serak bercampur tangis. Anak-anak memaklumkan kemarahan Santi yang memuncak. Tapi, tetap tak mengubah posisi mereka sebagai pion-pion dalam permainan. Semua juga prihatin dan berduka.

Mumpung belum keluar pertanyaan berikutnya, Hara turut membuka suara, “Untuk selanjutnya, mau seaib apapun, sememalukan apapun, sehina apapun, tolong dengan sangat jujurlah sama pertanyaannya. Angkat tangan kalau memang itu benar. Akuilah itu. Sejujurnya gue nggak mau korban berjatuhan lebih dari ini. Gue serius!”

Suara yang menggetarkan itu tersampaikan pada semua yang mendengar. Semua kembali berjanji, untuk berjuang melalui rintangan belukar tajam dalam game.

“Benar yang dibilang Hara, kita harus bersatu dan kerja sama. Saling menguatkan bila ada yang lemah. Game ini sebenarnya mudah dilewati selama kita berani jujur. Percayalah, kita semua pasti bisa!” Aldi menimpali dengan menggebu-gebu.

Semuanya bersorak setuju dengan apa yang diucapkan mereka berdua. Aura positif menyebar dan terhirup ke dalam sanubari. Kesedihan yang lahir mereka ubah menjadi kekuatan. Ini adalah kekuatan bersama-sama. Setelah pengakuan itu, cara pandang Hara terhadap Aldi telah berubah, membuat pipinya bersemu merah.

Saatnya untuk pertanyaan berikutnya, semua anak telah bersiap menyimak.

Siapa yang di belakang suka menjelek-jelekkan Windya Arini Putri, perempuan paling populer di kelas?

           

Suasana kelas sempat hening, rata-rata mengerutkan keningnya sambil bola matanya bergerak cepat ke kanan dan kiri. Gerak-gerik mereka hampir sama.

“Jujur aja! Angkat tangan yang suka ngomongin Windya!” tandas Hara mengingatkan lagi.

           Serentak hampir semua anak perempuan sekelas mengangkat tangan. Tak terkecuali Niar juga ikut dalam gerakan kompak itu. Hara menoleh kaget. Rupanya sahabatnya ini juga tak luput dari kebiasaan mulut-mulut gatal suka membicarakan orang.

Bagaikan makanan sehari-hari semuanya biasa menggosipkan Windya di belakang. Terlahir dari rasa iri dan cemburu melihat gadis seperti Windya yang memiliki kecantikan alami. Tidak sedikit dari mereka yang mengarang hal-hal buruk supaya pamor Windya turun.

Dalam dinding tertulis deretan nama sesuai dengan mereka yang mengacungkan jari mengakuinya. Jumlahnya sama. Tak ada yang berbohong dalam sesi pertanyaan ini. Namun, kebenaran yang dirasakan sangatlah berat. Windya ingin marah dan berkata kasar pun percuma, ia hanya seorang diri di antara sekumpulan anak perempuan yang serempak tidak menyukainya.

Tidak ada komentar yang keluar dari para laki-laki. Kebenaran yang tidak cukup mengejutkan mengetahui sifat asli perempuan pada umumnya. Bagi anak laki-laki justru itu menggelikan. Reaksi mereka hanya sekedar menggelengkan kepala heran.

Kemudian pertanyaan di dinding berikutnya muncul lagi. Pertanyaannya lebih menusuk.

Siapa yang pernah melakukan aborsi bayi?

Terbersit di pikiran anak-anak, kapan game terkutuk ini akan berakhir? Berapa lagi pertanyaan yang menyesakkan ini akan terus muncul?

“Gi, pertanyaan yang keluar banyak menyudutkan anak-anak cewek ya,” celetuk Ibas pelan.

“Gue kira game ini sengaja mencari-cari sisi lemah perempuan. Yang jelas si malaikat brengsek ini senang bila korban terus bertambah,” jawab Gian yang juga kesal.

Seluruh anak laki-laki bisa sedikit santai untuk tidak menanggapi apapun. Beberapa pertanyaan yang keluar sangat tidak menguntungkan pihak perempuan.

Lihat selengkapnya