Mata Hara berkaca-kaca melihat teman-temannya terus menerus menjadi seonggok mayat. Lalu menetes ke pipi untuk kesekian kali. Kemudian makin deras. Kelas itu kembali berduka yang kali ini lebih banyak memakan korban jiwa. Yang masih bertahan saat ini hanya tinggal separuh dari total siswa di kelas.
Rama yang temperamen menggebrak papan tulis dengan keras, “Brengsek!! Anjing!! Game anjing!! Keluarin gue dari sini!! Woi!!!”
Anak-anak mafhum melihat tingkah Rama yang emosional meski itu tak akan merubah apapun.
“Gian, makasih banget! Makasih…,” ucap Doni penuh rasa syukur lalu memegang pundak Gian dengan mata berair. Ia menangis bersyukur. “Kalau bukan karena lo, gue nggak mungkin ikut angkat tangan. Gue pasti udah mati kalau lo nggak teriak tadi.”
Hampir semua anak yang tersisa berduyun-duyun mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada Gian. Mereka terbawa latah dengan seruannya.
Hara dan Niar juga mendekati Gian, mereka berdua termasuk yang selamat di saat-saat terakhir. Belum hilang debaran jantung mereka yang tiba-tiba berpacu dalam penentuan pertanyaan terakhir tadi, “Gian, makasih banyak ya? Lo penyelamat kita semua. Gue berhutang nyawa sama lo.”
Di sebelah Hara, Aldi juga datang ikut mengucapkan terima kasih. Gian hanya mengangguk dan menjawab sekenanya dengan gaya khas lelaki dingin. Ia mengesampingkan perasaannya, ia tak mau berfokus dengan masalah pribadi dalam keadaan pelik ini.
Papan tulis memberikan informasi terkini.
Jumlah siswa yang mati : 213 siswa
Jumlah siswa yang tersisa : 883 siswa
“Banyak banget yang meninggal. Mereka pasti banyak yang terjebak di pertanyaan terakhir,” Ibas menghela napas dan memegangi kepalanya.
Kemudian untuk beberapa saat, di kelas tidak ada aktivitas apapun. Pengumuman game selanjutnya juga belum muncul.
Gian memandang isi kelasnya, terasa begitu kosong. Banyak kursi yang tak bertuan di sana. Di antaranya ada beberapa anak perempuan yang tak tahu musti berbuat apa, masih saja menangis terisak. Kelas yang selalu riuh rendah ini sudah tak terasa lagi. Kelas yang terkenal hiruk-pikuk hingga menembus dinding kelas sebelah kini sepi. Tak ada lagi keceriaan dan tawa yang menjadi atribut kelas ini.
Setelah sepuluh menit berlalu, papan tulis mulai menuliskan kembali baris untuk peraturan game selanjutnya. Anak-anak menduga mungkin itu adalah jeda istirahat selama pergantian game. Ada waktu berhenti sejenak sebelum memainkan game berikutnya, kira-kira lima belas menit.
Game selanjutnya berhubungan dengan tawa
GAME 3
Rule : Buatlah sebuah cerita yang bisa membuat juri tertawa keras, maka ia akan terbebas dari hukuman. Jurinya adalah seorang narapidana. Kalian semua akan menduduki kursi listrik. Jika cerita yang dibuat tidak membuat narapidana tertawa, hukumannya adalah terkena setruman 2.000 volt.
Perintah dari papan tulis untuk memulai game telah keluar. Semuanya duduk tenang, mencoba untuk tidak banyak tingkah di saat game dimulai. Di sana tertulis tes tawa, anak-anak berpikir cerita lucu macam apa yang harus mereka buat?
Dengan ajaib semua kursi yang mereka duduki berubah menjadi kursi listrik. Kedua tangan dan kaki terikat. Kepala terpasang helm. Kursi listrik itu sama persis dengan milik penjara di amerika untuk hukuman para narapidana yang divonis mati.