Waktu yang telah bergulir sedang menunggu Gian untuk bercerita. Semuanya berharap-harap cemas. Ketika terdengar Gian mulai bersuara, semua anak tegang dan melebarkan mata.
“Ada rumah kebakaran. Di dalam terjebak seorang lelaki berbadan gemuk yang kakinya terjepit reruntuhan balok kayu yang besar dan panas. Lelaki itu tidak bisa meloloskan diri sedangkan api terus membesar. Ia kemudian tewas terbakar seperti babi panggang.”
Semua anak menilai cerita Gian tidak mengandung unsur lucu sama sekali. Mereka tak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Tapi tak ada satu pun yang berani mengoreksi.
Hasil keputusan juri sesuai dengan prediksi Gian. Untuk pertama kalinya sang narapidana tertawa terbahak-bahak, suara tawa yang begitu tak enak didengar menggema ke seluruh kelas.
“Lucu!!” serunya.
Gian dinyatakan berhasil. Jelas saja membuat semua anak takjub. Dalam hati mereka bertanya-tanya kenapa cerita itu bisa diterima? Kenapa bisa berhasil?
Tak dapat dipungkiri, jantung Gian yang berpacu hampir meloncat keluar rasanya. Bisa jadi ia salah dalam mengananalis. Namun, rupanya tebakannya benar. Pertanyaan yang terus berputar di kepala Gian, kenapa harus narapidana yang menjadi jurinya? Mungkin saja itu adalah sebuah petunjuk.
“Bahkan secara fisik, orang itu sangat mirip dengan Charles Manson,” telisik Gian, menyebut seorang pembunuh berantai yang mendapat hukuman penjara seumur hidup. “Dari perawakannya yang pendek dan kurus, rambut sebahunya yang berantakan, lalu jenggotnya yang lebat.”
Ia pun berpikir, narapidana identik dengan seorang psikopat. Artinya cerita yang dapat menghiburnya kurang lebih adalah cerita tentang pembunuhan dan sebagainya. Gian meyakini sang narapidana itu menyukai cerita mati yang mengenaskan―buktinya cerita kucing mati tertabrak mobil milik Harno saja bisa membuatnya tersenyum.
Anak-anak kaget dan bersorak meski masih tak mengerti dengan cerita Gian kenapa bisa lolos. Baru pertama kalinya ada yang bisa selamat dari eksekusi mati kursi listrik.
Seperti mengetahui kebingungan teman-temannya, belum ditanya Gian sudah menjabarkan bocoran keberhasilannya.
“Jadi kita bukan disuruh buat cerita lucu, tapi justru cerita menyeramkan yang disukai psikopat! Inget ya, cerita yang ada kematiannya!” instruksi Gian kepada teman-temannya.
Anak-anak mengangguk mengerti. Mereka membuang cerita lucu yang susah payah mereka pikirkan. Dengan imajinasi masing-masing, mereka mengarang sebuah cerita pembunuhan sesuai apa kata Gian. Pancaran bola mata mereka sebelumnya telah redup, tapi berkat arahan Gian kini mereka seperti memiliki tujuan lagi.
Kemudian giliran Ibas untuk memberikan sebuah cerita. Ia gugup bukan main. Mulutnya mengatup dan membuka berulang kali tanpa sadar. Ibas berusaha menenangkan dirinya di tengah jantungnya yang berdetak sangat cepat.
“Bas, cerita yang sadis,” kata Gian pelan.
Ibas hanya mengangguk.
“A-ada sebuah keluarga di apartemen. Keluarga ini selalu makan dengan cara delivery order. Suatu saat mereka memesan pizza. Tak sampai tiga puluh menit, pengantar pizza pun datang. Setelah menerima pizzanya, sang ayah menusuk pengantar pizza berkali-kali. Yang hendak mereka makan bukanlah pizzanya tapi pengantar pizzanya. Ya, rupanya mereka adalah keluarga kanibal. Akhirnya mereka memiliki pasokan makanan untuk beberapa hari.” Ibas bercerita dengan cukup lancar.
Suara tawa dari sang narapidana menggelegar. Mendengarnya Ibas langsung membuang napas lega. Semua anak ikut senang dengan keberhasilan Ibas telah lolos dari lubang kematian. Itu makin meyakinkan jika cerita seramlah satu-satunya cara untuk bisa selamat. Cerita semacam pembunuhan itulah yang ingin didengar oleh narapidana itu. Semakin sadis ceritanya, semakin kencang pula tawa sang narapidana. Sungguh selera psikopat.
Kemudian mereka satu persatu menceritakan kisah yang tak lazim dan penuh darah. Setiap cerita yang diperdengarkan, narapadina itu tergelak. Baginya, cerita-cerita itu menjadi komedi di telinganya. Dan ajaibnya, setelah itu tak ada lagi jatuh korban hingga orang yang duduk paling depan. Semuanya selamat.
Setelah narapidana itu menertawakan cerita orang yang duduk di pojok depan, ia pun menghilang secara otomatis. Kursi listrik yang menyesakkan itu juga tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi kursi kayu seperti semula. Game ketiga telah berakhir.
Suara riuh dan ramai terdengar di kelas itu. Mereka menangis bersyukur masih hidup. Mereka kembali berterima kasih secara berkerumun serta memuji Gian terus menerus. Ada yang merangkul bahkan memeluknya saking tak bisa mengendalikan rasa puas dan leganya. Tentu saja membuat laki-laki pendiam itu risih dan mengatakan jika itu sudah sepantasnya dilakukan. Ia tak mengharapkan timbal balik apapun.
“Kalian jangan terlalu senang,” ucap Gian setelah menerima semua rasa terima kasih itu, teman-temannya masih berdiri mengelilinginya. “Game ini masih berlanjut. Masih ada game-game berikutnya. Gue cuma mau bilang tetap waspada. Jangan lengah.”
Mendengar kata game belum berakhir, air muka anak-anak yang penuh gembira berangsur lenyap. Seketika lutut-lutut mereka rapuh bagai kursi reyot. Seolah semangat yang menggelora tadi menguap hilang entah kemana. Pandangan pun gelap dan kosong.
“Gian, kita tahu game belum selesai, tapi jangan ingetin gitu dong!” sungut Hara.