“Sepertinya kita bisa jadi teman baik,” harap Meisya.
Hara mengangguk lemah, “A-ah, iya. Semoga kita bisa selamat sama-sama ya?”
“Selama kita berada di dekat Gian, kita pasti selamat. Gian pasti akan mengusahakan sesuatu.”
Kali ini Hara tak menanggapi, hanya bisa memberikan senyuman kikuk. Hara merasa ini tak seperti dirinya, mengapa ia harus begini? Padahal hubungannya terhadap Gian hanya sebatas teman. Mengapa ia merasa tersaingi dengan adanya Meisya?
“Perasaan aneh apa ini?” pertanyaan itu yang terus terulang dalam benaknya.
Ia belum dapat memastikan, semuanya masih terasa samar-samar.
Tepat di saat obrolan mereka berakhir, sang algojo mendadak bergerak memilih salah satu target. Anak-anak bergidik ngeri dan mundur menjauh. Dua algojo itu yang sedari tadi berlagak seperti patung yang bergeming kini tiba-tiba mulai mengangkat kakinya. Para anak perempuan menjadi begitu ribut. Mereka tak ingin tebakannya benar, jangan-jangan ada yang telah kehabisan batas waktu.
Terdengar suara teriakan dari arah kurungan di tengah halaman sekolah. Gian langsung menjulurkan lehernya, tangannya berpegangan pada pembatas pagar memandang jauh ke arah asal suara. Jeritan salah seorang perempuan yang dipaksa keluar oleh dua algojo besar mengerikan. Benar sekali, mereka berniat untuk memasukkan anak perempuan malang itu ke kandang sebelah, kandang para singa. Melihat waktu yang tertera di lengannya sudah tak bersisa. Anak laki-laki yang menjadi pasangannya rupanya telah meletuskan seratus balon dan tak membawa hasil.
Gian melirik sisa waktunya, padahal game baru berjalan setengah jam, namun korban pertama telah dipersembahkan. Gadis itu diseret dengan kasar, seolah tidak peduli dengan nada memelas yang keluar dari mulutnya. Di kurungan sebelah, puluhan singa berjalan mondar-mandir menanti-nanti kapan daging segar akan diberikan.
Setelah gadis itu dimasukkan ke dalam kurungan singa, tak ada yang berani membuka mata apalagi menoleh. Semua mata terpejam. Hanya terdengar suara teriakan pilu menjelang ajal.
“Ada apa? Ada apa?” Ibas berlari tergopoh-gopoh sambil membenarkan resleting celananya.
“Lo lama banget di kamar mandi?!”
“Tadinya cuma mau kencing, tapi jadi kepingin boker juga.”
Dengan gemas Gian menepuk ubun-ubun kepala Ibas. “Kita ini sekarang lagi diburu waktu! Masih sempat-sempatnya boker lo!”
Gian pergi sendiri meninggalkan Ibas.
“Orang kebelet gimana lagi?” gerutunya dengan wajah manyun. “Eh, Gi, gue jangan ditinggal. Lihat gue punya apaan nih.”
Meskipun malas-malasan Gian menoleh juga ke belakang. Ibas melambai-lambaikan selembar potongan kertas dengan bangga. Benda kecil itu tentu saja menjadi perhatian Gian.
“Tadi di kamar mandi gue iseng aja nusuk balon dan surprise di dalamnya ada kertas beginian.”
Secarik kertas yang menjadi kunci penyelamat anak-anak perempuan yang terkurung. Dengan tak sabar Gian pun melihatnya. Tertulis kata ‘kuning ――4―’ di kertas tersebut.
“Kuning, angka empat?” Gian berkernyit. “Jadi setiap balon yang berisi kertas cuma ngasih tahu satu digit angka? Artinya kudu nemuin tiga kertas lagi buat jadi empat kombinasi angka. Ini semakin nggak logis!”
“Iya, Gi. Gue kira kalau udah nemu kertas di balon, bakal selesai. Ternyata nggak,” Ibas menimpali. “Bisa dibilang ini masih seperempatnya dari berhasil.”