GRIM GAME

moris avisena
Chapter #9

Bab 9 - Balon Hitam

Di depan jeruji kurungan, Gian mengatur napas. Ia memberi isyarat pada Meisya bahwa ia telah berhasil mengetahui kombinasi angkanya. Kabar gembira itu jelas membuat gadis pemilik mata indah itu basah oleh air mata. Ia telah banyak menyaksikan teman-teman perempuannya mati oleh game ini. Betapa tidak berartinya nyawa manusia dalam permainan ini.

“Gue dulu yang masuk,” Gian menahan langkah Bili.

“Yang masuk hanya orang yang telah memecahkan kode sandi,” kata algojo itu dengan suara yang menggelegar.

“Aku sudah tahu sandinya,” jawab Gian yakin.

Pintu jeruji pun terbuka lebar. Meisya yang tak sabar sudah berdiri menunggu di balik pintu.

“Kamu udah nemuin semua sandinya?” tanya Meisya bersemangat.

“Aku cuma punya tiga sandi,” Gian menjawab enteng. Seperti mengetahui kebingungan Meisya, Gian pun menjelaskan. “Ya, aku tahu kita butuh empat sandi. Tapi, aku baru menyadari tadi, sebenarnya kita cuma butuh tiga sandi.”

Ketiga kertas itu Gian keluarkan dari sakunya, jika semuanya digabungkan maka akan tersusun tulisan, ‘merah 810―’. Kini yang Gian lakukan selanjutnya adalah mengurut angka kemungkinan dari nol hingga sembilan untuk menemukan digit yang belum terisi. Meisya pun paham.

Gian menyadari, jika kurang dua digit, ada seratus kemungkinan untuk mengurut sandi itu. Dan itu terlalu lama. Tapi jika cuma kurang satu digit, hanya akan ada sepuluh kemungkinan.

“Delapan satu nol empat salah, delapan satu nol lima salah juga,” satu persatu Gian coba dengan mengurutnya.

Di saat Gian akan memutar angka pada gembok untuk kombinasi angka ‘delapan satu nol enam’, salah satu algojo meremas bahunya keras. Gian mengerang.

“Katanya kau tahu sandinya? Kenapa lama sekali? Jika kau bohong, akan kulempar kau ke kandang singa!” sang algojo berdiri di belakang Gian dengan berang.

“Se-sebentar…!”

Sebelum Gian benar-benar akan diseret, ia telah selesai mencoba satu kemungkinan lagi. Gembok itu pun terbuka. Perbuatannya juga bisa mengancam nyawanya, nyaris sekali. Semua anak perempuan bersorak riuh dan bertepuk tangan melihat keberhasilannya.

Napas lega diembuskannya. Hampir saja ia dilempar menjadi santapan singa. Rantai yang melilit tangan Meisya pun terlepas bersamaan dengan terlepasnya ia dari intaian maut. Rasa senang membumbung tinggi itu ia salurkan menjadi serangan pelukan ke tubuh Gian seperti yang ia lakukan sebelumnya. Meisya menumpahkan rasa tangisnya di dada laki-laki itu. Gian tidak bisa berkutik dibuatnya.

Di dalam keramaian itu, Hara turut senang, namun di sisi lain ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang mentah dari ketidaksukaan pemandangan itu.

Tak bisa menunggu lebih lama lagi, mereka berdua pun diusir kasar oleh para algojo dari dalam kurungan. Meisya menjadi orang pertama yang berhasil selamat. Di luar telah menunggu Bili dan tengah menagih janji pada Gian.

“Kode sandi untuk warna merah, delapan satu nol enam,” bisik Gian. “Jangan banyak obrolan di dalam, waktunya sempit. Langsung aja putar angkanya!”

Bili mengangguk paham, ia langsung masuk mengikuti ‘jalan’ yang telah dibuat Gian.

“Kalau di dalam kurungan waktunya nggak terbatas, aku bebasin sendiri semua yang punya sandi angka merah.”

“Iya, tapi sayangnya itu jadi kewajiban setiap pasangan masing-masing.”

Tak berapa lama Bili juga berhasil menyelamatkan Windya, mereka berdua keluar dengan langkah ringan. Gian dan Meisya ikut senang sambil bertepuk tangan lirih. Melihat ada yang selamat, banyak anak kontan datang berkumpul. Gian lalu memberitahukan jawaban bagi mereka yang berwarna merah. Akhirnya semakin banyak yang terbebas dari kurungan.

Lihat selengkapnya