Dengan wajah segar dan gaya lincah seperti biasa, Niar mengucapkan rasa terima kasihnya pada Gian yang masih tercengang.
Ibas maju menjelaskan, “Hara yang nemuin balonnya di tempat parkiran guru. Dua balonnya nempel di mobil sedan warna hitam. Pantas aja nggak kelihatan.”
Jika memang begitu yang terjadi, Gian sangat senang Niar masih hidup dengan keceriaan yang menjadi ciri khasnya.
Niar memeluk Hara kesekian kalinya. “Makasih banget ya, Ra! Lo emang best friend foreva gue! Ini sih bukan hutang budi lagi, tapi hutang nyawa! Makasiih, makasiih….”
Pelukan Niar membuat dada Hara sesak dan lehernya sakit.
“Lo mau bunuh gue? Gue kagak bisa napas!” Hara berusaha melepaskan diri tapi pelukan Niar seperti belitan ular piton.
Waktu yang tersisa telah di akhir batas. Sesi game kali ini selesai sudah. Mereka tertawa bergembira sekali lagi bisa selamat dari game berujung maut. Sebuah keajaiban, mereka saja tak menyangka bisa bertahan sejauh ini. Semua berkat Gian yang paling berkontribusi untuk setiap kemenangan. Berkatnya, ia sukses meminimalisir kematian para siswa. Laki-laki itu, dalam goresan senyumnya terhimpun rasa puas dan bangga.
Semua yang berhubungan dengan game keempat langsung lenyap. Balon-balon, kurungan raksasa, singa-singa sudah tak nampak lagi di sekolah.
Jika game berakhir sampai di sini, sebenarnya kebahagiaan mereka akan lebih dramatis, itu yang diharapkan semua siswa. Sudah cukup kegilaan ini. Mereka hanya ingin keluar dari sekolah ini secara utuh untuk bisa bertemu ayah dan ibu masing-masing. Mereka semua masih ingin mewujudkan cita-cita yang belum terlaksana. Mereka semua masih ingin menikmati hidup hingga tua. Namun, dengan datangnya game ini, mudah sekali menghancurkan segala angan-angan dan impian yang mereka miliki. Keinginan mereka sekarang hanya satu, yaitu mereka tak ingin menjadi mayat selanjutnya. Itu saja.
Jumlah siswa yang mati : 43 siswa
Jumlah siswa yang tersisa : 569 siswa
Gian melihat teman-teman sekelasnya. Sejak keluar dari game ketiga, belum ada korban jiwa lagi. Sebagian besar korban berasal dari kelas 1.
Berlari ke sana kemari telah menguras energi mereka. Membuat perut mereka keroncongan dan kerongkongan kering. Game yang terjadi berturut-turut terlalu meletihkan. Mereka semua pun terduduk di halaman bahkan ada yang rebahan, baru mereka sadari tubuh mereka sudah tak bisa diajak berkompromi. Jeda untuk game selanjutnya, mereka gunakan untuk beristirahat sepenuhnya. Melepas penat dan peluh.
Tak lama dari itu muncul beberapa orang dari kelas 2, masing-masing dari mereka membawa sebuah kardus yang berisi air mineral, roti sobek, kue donat, nasi bungkus, dan lain-lain. Lalu kardus-kardus itu mereka jejerkan di tengah-tengah orang berkumpul.
“Apa-apaan sih ini?!” lantang seseorang dari anak 3. “Keadaan lagi kayak gini kalian masih sempat-sempatnya mikir buat makan minum?!”
“Tau tuh! Sahabat gue baru aja mati, ini malah enak-enakan mau makan! Gue nggak nyangka di saat begini masih punya selera makan. Gue sih enek banget!”
Ini adalah inisiatif beberapa orang dari mereka, mereka mengambil ini semua di minimarket sekolah. Namun, reaksi yang didapat tidak seperti yang diharapkan.
Konflik terjadi di antara mereka, Gian dan Ibas menghampiri anak-anak kelas 2. Meisya juga turut serta berjalan mengikuti Gian di belakangnya.
“Gue minta ya? Pas banget gue lagi lapar plus haus,” Ibas tanpa sungkan memecah kekakuan. Dia lahap nasi bungkus yang berisi lauk potongan telur dadar, kering tempe, dan ayam goreng.
“Gue menghargai orang yang nggak mau makan. Tapi, bagi gue sendiri, saat ini gue butuh nutrisi untuk melanjutkan game. Kita nggak tahu model game apa lagi yang bakal muncul, kehabisan tenaga di tengah-tengah game tentunya nggak akan bagus.”
Setelah mengatakan itu, Gian memungut buah-buahan dan duduk di samping Ibas. Gian mengupas pisang dan menikmatinya bersama Meisya. Anak-anak masih saling pandang, terlihat semuanya masih dibalut rasa ragu. Sesungguhnya dalam hati mereka membenarkan semua kata Gian. Lalu yang mengikuti berikutnya adalah Hara, Niar, dan Aldi.
Meski telah banyak yang bergabung bersama Gian, mereka masih belum memutuskan. Hanya bisa menonton acara makan yang dipertunjukkan oleh mereka. Tak terasa dari mereka menelan air liurnya sendiri. Mereka tak bisa menipu rasa lapar.
“Jangan terlalu lama mikirnya. Kalau mau makan, makan aja. Waktu kita cuma lima belas menit.”
Penekanan suara dari Ibas menyadarkan semuanya. Langsung saja mereka menyerbu makanan dan minuman yang ada. Tak ada lagi rasa gengsi atau jaga image di antara mereka. Sejurus kemudian mereka sibuk dan fokus pada makanan di tangan masing-masing.