Meisya spontan memejamkan mata melihat kelakuan Ibas yang mengagetkan. Perlahan ia membuka matanya, punggung Ibas masih terlihat dari dalam yang mustinya telah meluncur ke bawah. Meisya melihat keluar dari jendela, rupanya kaki Ibas menapak pada beton selebar satu meter di luar. Mereka menyebutnya balkon darurat.
“Hanya gedung IPA yang punya pijakan beton di luar jendela. Kami sering ke luar jendela, duduk-duduk di sini saat pelajaran kosong,” tutur Gian menjelaskan.
“Iseng banget sih. Ih, bilang dong,” jantung Meisya masih berdetak keras.
“Gue belum gila sampai lompat dari lantai tiga, tenang aja,” Ibas di luar cekikikan.
Dengan hati-hati Gian membantu memegangi Meisya saat melewati kusen jendela. Tiupan kencang angin di luar membuat rambut mereka bertiga terus berkibar. Meski disangga oleh beton yang tebalnya dua puluh centimeter, Meisya merinding memikirkan ia berada di atas ketinggian tiga lantai tanpa pagar penahan.
Mereka merendahkan tubuhnya dan duduk bersandar agar tak terlihat keberadaan mereka di luar kelas. Yang terakhir Gian menutup jendelanya, akan aneh bila hanya satu jendela yang nampak terbuka. Jadilah tempat sembunyi yang sempurna.
Kini yang mereka butuhkan hanya menunggu sampai waktu lima puluh menit berakhir. Sayup-sayup terdengar suara tembakan beruntun entah dari mana asalnya. Pembantaian telah dimulai. Secara reflek Meisya berpegangan pada lengan Gian lagi. Mungkin karena sudah terlalu biasa, Gian tak merasakan desiran apapun. Pikirannya malah melayang ke wajah perempuan berambut pendek dikuncir itu. Dalam benaknya terus bertanya-tanya, bagaimana keadaan Hara saat ini?
Mereka menangkap suara rentetan tembakan yang samar-samar lagi. Meisya merinding, berapa banyak korban yang telah gugur? Pikirnya. Sekalipun kelas ini nanti ketahuan, ia berharap persembunyian mereka tak terlihat.
“Gian, ka-kalau kita bisa selamat d-dari sini....”
Meisya berbicara terbata-bata, genggamannya semakin erat. Gian pun menoleh kepadanya. Rasanya akan ada pembicaraan mendalam.
Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya, Meisya lalu berkata, “K-kamu mau jadi cowokku? Kita pacaran.”
Ibas yang segera mengetahui situasi, buru-buru bangkit. “Anu, gue keluar dulu. Mau lihat-lihat keadaan, silahkan dilanjutin.”
“Bas,” panggil Gian.
“Udah nggak apa-apa. Sebentar doang,” Ibas pergi dengan meninggalkan sebuah gestur tangan.
Tinggallah mereka berdua di atas beton tanpa pengaman itu. Untuk beberapa detik tak ada suara. Senyap. Gian yang seharian ini banyak bicara kembali menjadi pendiam. Kebingungannya terlihat, tak ada referensi bagaimana ia harus menanggapinya.
“Kamu nggak tahu kalau aku sayang kamu?” kata Meisya akhirnya. Ia sudah memantapkan hatinya. “Wajahmu nggak mau pergi dari pikiranku. Aku cinta kamu, Gi. Kamu tahu? Cintaku sangat berlebihan, sampai bisa menenggelamkan cinta yang pernah ada di masa laluku. Dan entah sejak kapan menimbulkan kepemilikian yang luar biasa sama kamu. Jantungku bekerja dua kali karena mencintaimu.”
Mata Mesya berkaca-kaca. Ia tidak suka perempuan mengatakannya lebih dulu, tapi semuanya sudah terlanjur. Seperti air yang mengalir turun tak akan kembali mendaki.
Gian yang tak pernah berpacaran itu, gugup bagaimana menempatkan situasi seperti ini. Ada seorang gadis yang secara sadar dan terang-terangan mengatakan mencintai dirinya. Suasana yang canggung ini menunggu Gian menetapkan keputusan.
“Aku… aku hargai perasaanmu. Terima kasih, aku nggak tahu perasaanmu sebesar itu. Tapi, maaf… aku nggak bisa membalasnya. Aku nggak mau mengkhianati perasaanku sendiri dengan seorang,” suara Gian sangat lirih.
Jawaban yang tidak mengagetkan Meisya sebetulnya. Ia sudah meraba-raba kurang lebih kalimat jawabannya akan begitu. Tapi, tetap saja penolakan yang halus itu terasa sangat perih di hati Meisya. Seolah hatinya terkena sayatan berkali-kali.
“J-jadi, udah ada perempuan yang kamu suka ya? Siapa?” Tak kuat lagi membendung air matanya, Meisya menangis tertahan.
Saat akan menjawab, terdengar suara obrolan dari luar kelas. Ibas datang dengan seseorang.
“Doni?”
Seseorang yang Ibas bawa adalah Doni. Anak itu berkeringat dan berwajah pucat. Gian segera menghampiri dan mengajaknya untuk ikut bersembunyi di luar jendela.
“Bagus banget sembunyi di sini, gue nggak kepikiran,” kata Doni sambil terengah-engah.
“Lo kenapa? Apa yang barusan lo lakuin?” tanya Gian langsung.
Doni mengambil napas dalam, “Rama pelakunya, dia yang terpilih jadi kaki tangan pembunuh bayaran!
“Serius!?”
Mereka semua terkinjat. Rama, juga teman satu kelas mereka yang memiliki temperamen buruk bernasib sial terpilih menjadi seorang pembunuh.