Gian melotot tak percaya. Sedikitpun tak ada yang menyangka jika Ibas adalah orangnya. Doni menangis ketakutan, ia sudah pesimis akan mati.
“Jadi, kenapa Doni bisa....”
“Itu karena gue yang suruh,” Ibas memberikan senyuman tak biasa. “Ingat saat lo sama Meisya gue tinggal keluar kelas? Saat itu gue lagi nyoba gimana caranya ngeluarin pistol, ternyata gampang tinggal dibayangin aja tahu-tahu muncul sendiri di tangan. Dan kebetulan di saat gue lagi ngeluarin senjata, Doni muncul buat nyari tempat persembunyian. Karena nggak mau identitas gue ketahuan terlalu dini, gue ancam Doni dan gue suruh ngarang cerita kalau Rama lah pelakunya.”
Terkuak sudah. Penjelasan Ibas begitu runtut. Ketiga anak itu tak bisa berkata apa-apa, mereka masih diliputi shock yang sangat. Terutama Gian. Dalam pikirannya, kenapa harus Ibas? Dari ratusan anak kenapa bisa sahabatnya sendiri yang terpilih? Saat ini sahabatnya sedang mengacungkan senapan itu tepat di dahinya. Tatapan tajam Ibas seolah berubah jadi mata pembunuh.
“Ibas, lo tega mau bunuh kita semua?” Meisya merajuk.
“Maaf, gue nggak punya pilihan lain. Kalau gue nggak ngebunuh, gue sendiri yang bakal dibunuh,” aku Ibas. “Membunuh atau dibunuh. Mungkin inilah saatnya gue untuk menggila!”
“Lo bisa sejauh ini semuanya berkat Gian, lo harus ingat itu!” pekik Meisya.
“Gue terpaksa harus bunuh kalian! Kalian harusnya ngerti! Gue nggak mau mati!”
Ibas menampakkan wajah frustasi. Nada bicaranya berubah memelas. Sebenarnya jauh di dasar hatinya ia tak mau berbuat begini, ia marah dengan takdir yang diberikan padanya. Ia sendiri juga menahan tangis.
“Gue anak yatim. Juga anak semata wayang. Kalau gue mati, Emak gue nggak punya siapa-siapa lagi!”
“Ibas, tenang… kita cari jalan keluarnya bareng-bareng,” sebisa mungkin Meisya terus membujuknya.
Beberapa detik berlalu, Ibas masih belum menarik pelatuknya. Ternyata memang tak mudah, banyak pertimbangan yang harus dihadapi. Perasaan Ibas berubah-ubah. Ia mengalami dilema antara membasahi darah sahabatnya sendiri atau tidak. Giginya saling menggesek. Dahinya berkeringat menandakan stres yang luar biasa.
“Kalau lo emang punya nyali, Bunuh gue, Bas! Kalau lo emang punya keberanian itu, tembak gue! Itu kan yang lo harapin?!” tantang Gian yang juga menatap dingin.
“Jangan provokasi gue! Kalau gue mau lo bisa langsung mati!” Ibas memegang erat gagang senapannya.
“Ayo, tunggu apa lagi?! Buruan penuhi tubuh gue pakai peluru! Lubangi tubuh gue kayak sarang lebah! Tapi, cuma satu yang gue minta, jangan anggap gue sahabat lo lagi! Lupain semua kebersamaan kita selama ini!”
“Oke! Demi bisa bertahan hidup, gue akan lupain semuanya,” balas Ibas.
Gian memejam mata. Jika memang itu bisa menyelamatkan Ibas, Gian merelakan nyawanya.
Ibas hanya tinggal menarik pelatuknya, target di depan mata. Tapi, Ibas tak bisa menggerakkan jarinya. Lama ia dalam posisi itu. Dibandingkan teman-temannya, ada lawan yang harus ia hadapi lebih dulu. Yaitu nuraninya. Nurani sebagai manusia menjadi penghalang, sehingga membuat perasaannya tiba-tiba berat. Nuraninya takkan mengijinkan Ibas melukai orang lain apalagi membunuhnya. Kesiapan hatinya goyah dan runtuh. Ibas menurunkan senjatanya.
“Gue nggak bisa ngelakuinnya,” Ibas jatuh berlutut. “Kayaknya gue akan mati karena nggak bisa bunuh orang. Kalian buruan pergi dari sini, semoga kalian semua selamat….”
Rasa kemanusiaannya merebak dalam diri Ibas. Tiba-tiba ia teringat ucapan almarhum ayahnya, ‘jika tidak bisa memanusiakan manusia ia bukan manusia’. Ia tertunduk lemah.
Gian berdiri di depan Ibas, ia mengulurkan tangannya. “Bangun.”
Dengan malas, Ibas tetap meraih tangan Gian. Lalu, seketika ia merasakan tubuh Gian merapatkan ke dirinya. Gian sedang mendekapnya.
“Gue tahu lo nggak bakal bisa narik pelatuknya.”
Tak terasa air mata Ibas meleleh dengan sendirinya. Perasaan emosional sedang mendominasinya.
“Lepasin pelukannya. Gue malu dilihat sama yang lain,” Ibas mengusap matanya sambil berpaling, tak ingin wajahnya cengengnya terlihat.