Si bengis bertubuh Rambo itu menarik gagang pintu. Setelah tahu ruangan itu terkunci, tanpa pandang bulu senapan M16nya segera digunakan untuk melancarkan tembakan membabi buta ke arah kenop kunci. Tembakan beruntun yang membuat telinga berdengung. Kemudian ia membuka pintu tapi terhalang oleh tumpukan meja-meja di dalam. Meja-meja itu bergetar ketika pembunuh itu mencoba mendobraknya. Bagaikan ada ikatan batin, dua orang pembunuh lainnya segera datang dan membantu.
Gian, Aldi, dan Ibas berbarengan menahan meja-meja itu agar jangan sampai rubuh. Hanya gundukan meja ini penyambung nyawa mereka saat ini. Susah payah mereka terus menahan sekuat tenaga, beradu dengan tenaga luar biasa milik ketiga pembunuh di luar.
Hantamannya makin terasa, mereka bertiga selalu terdorong mundur setiap para pembunuh menyeruduk pintu. Bukan main kerasnya terjangan mereka, seolah-olah sedang menahan serudukan banteng. Jika begini terus, Gian khawatir tak akan lama lagi bisa menahannya. Di samping menahan pintu sekuat yang ia bisa, ia sendiri pun menahan luka tembak di bahunya. Hara dan Meisya otomatis saling merapatkan tubuh, sesekali memejamkan mata ketakutan.
Lalu gebrakan terakhir meluluhlantakkan meja-meja yang ada. Untung Gian dan lainnya sempat menghindar untuk mengurangi risiko berbenturan. Meja dan komputer jatuh berdebam di lantai. Terlihat siluet ketiga pembunuh itu dari dalam. Pintu pun terbuka lebar.
Ibas telah siap dengan senapannya, ia melancarkan tembakan dengan sengit begitu pintu terbuka. Ketiga lawannya berlindung di balik tembok. Di saat giliran si pembunuh, anak-anak itu berlindung di balik meja yang dijadikan tameng oleh mereka―bergabung bersama Hara dan Meisya. Tembakan yang sangat brutal dari para pembunuh itu. Mereka mendapati kejadian ini persis seperti dalam film laga, ketika terpojok oleh tekanan antagonis.
“Kita serang mereka begitu ada kesempatan!” Gian mengkomando.
“Gila! Kita aja terus diserang begini mana bisa serang balik?”
“Ada! Saat jeda waktu mengganti amunisi!”
Puluhan peluru yang melesat itu juga akhirnya ada batasnya. Saatnya isi ulang. Gian memilih melakukan perlawanan ketimbang hanya bisa terdiam dan mati. Lalu ia memberi aba-aba untuk mengangkat meja yang menjadi satu-satunya perisai. Gian dan lainnya berteriak sekuatnya sambil mendorong meja itu menutupi diri mereka sendiri. Tapi, usaha mereka dipupuskan hanya dengan satu tendangan kuat. Mereka semua jatuh terjerembab.
“Argh, bodohnya! Tentunya mereka juga ahli tangan kosong,” Gian bergumam.
Saat itu bagian yang paling terbuka tanpa perlindungan adalah Gain. Semua menyadarinya, Gian bisa menjadi sasaran empuk. Tubuhnya bisa saja penuh lubang dihujani butir peluru. Tiap detiknya menjadi momen penentu terbesar antara hidup dan mati.
Dalam detik-detik itu, Ibas telah memutuskan sesuatu. Senapan AK-47nya sudah terpasang magazen yang baru. Saat mereka bersiap memberondong Gian yang terkulai, tembakan Ibas mengenai tepat kepala salah satu pembunuh. Kedua pembunuh lainnya kemudian mengganti target ke Ibas yang memegang senjata. Terjadi baku tembak, tubuh Ibas berlubang bagai sarang lebah menggantikan Gian. Darah bercucuran di sekujur tubuhnya. Sebelum ia terjatuh, Ibas sempat menorehkan sebuah senyum. Ibas yang ceria dan berisik itu masih bisa tersenyum di akhir hayatnya. Senyuman terakhirnya.
“Ibaaaas!!”
Semuanya berteriak pada anak yatim itu. Namun, kengerian tak berhenti di situ. Gian sudah tak peduli lagi dengan nyawanya. Air mata membasahi pipinya. Seluruh jiwanya penuh dengan amarah ingin melumat kedua pembunuh itu.
“Brengsek kalian!!” Gian bangun dan menerjang.
Meski tubuhnya bisa saja menjadi sarang lebah kedua, Gian telah kehilangan akal sehatnya. Yang ia pikirkan hanya satu, tinjunya harus bisa mengenai wajah orang-orang memuakkan itu. Tapi, Gian tak diperkenankan membalas dendam. Karena kedua pembunuh itu tiba-tiba lenyap dari pandangan. Dan kepalan tangan Gian hanya memukul angin.
Lenyapnya para pembunuh itu membuat suasana sunyi sesaat. Butuh waktu untuk otak menyadarinya.
“Waktunya habis ya,” lirih Aldi kemudian memeriksa jam di tangannya.
Waktu lima puluh menit telah lewat dan mereka semua berhasil bertahan. Kecuali satu orang, yaitu Ibas. Sejak awal Gian sangat menyadari bahwa yang dia lawan adalah waktu. Jika ia bisa bertahan selama yang ia bisa, itu sama saja kemenangan baginya. Waktu yang mereka lawan juga yang telah menyelamatkan mereka.
Sebelum mereka sempat berkerumun ke tubuh yang tergolek tak bernyawa itu, tubuh itu lebih dulu menghilang. Gian bertekuk lutut pada seberkas cahaya yang masuk dari luar pintu. Memandang kosong pada lantai bekas Ibas berbaring. Sahabatnya telah diambil dari sisinya.
Gian pun menangis sejadi-jadinya, suara pilu yang akan mengiris-iris hati siapapun yang mendengar. Ia meraung dalam pedih. Ia luapkan semua kekesalan dan kehilangannya.
Jika kebahagiaan bisa menular, kesedihan pun juga. Pemandangan itu menular kepada Hara dan Meisya. Mereka berdua ikut berlinang air mata. Mereka tahu, Ibas sangat penting keberadaannya bagi Gian. Mereka khawatir jika mental Gian hancur lebur―tak ada gairah dan semangat hidup lagi.
“Gian, kita harus relakan Ibas seperti kita juga merelakan teman-teman kita yang lain yang telah pergi,” Aldi memegang bahu Gian hati-hati. “Lebih baik sekarang kita ke halaman sekolah.”
Tak ada jawaban dari Gian. Ia tak menangis sesenggukan lagi, hanya sedang hanyut dalam diamnya.