GRIM GAME

moris avisena
Chapter #14

Bab 14 - Syarat yang Diajukan

Kata ‘kecuali’ itu ditunggu-tunggu oleh semua anak. Andai saja game ini memberikan pengampunan, dengan antusias mereka akan mengambil kesempatan itu. Separuh dari mereka adalah anak kelas 1 dan 2 yang tidak mengenal satu sama lain. Yang mana mereka tidak terikat dalam sebuah hubungan emosional. Demi bisa hidup, orang yang berada dalam titik terendahnya, bahkan mampu menyingkirkan orang di sebelahnya. Yang terpenting adalah diri sendiri. Memprioritaskan nyawa sendiri tidaklah aneh.

Maksud dari ‘kecuali’ itu akhirnya dipaparkan.

Kecuali jika kalian bisa memenuhi syarat. Game ini akan berakhir pada game ketujuh.

           Malaikat pencabut nyawa itu memberikan syarat yang harus dipenuhi untuk menghentikan game. Tentu sebuah kabar gembira bagi mereka, tak menyangka bisa bernegosiasi dengan makhluk yang tak nampak itu.

“Sekarang udah game ke berapa?” tanya salah seorang pada yang lainnya.

“Kita mau game keenam.”

Anak-anak kembali menunggu dan menyimak.

Syaratnya adalah nyawa kalian semua harus ditukarkan dengan nyawa orang tua kalian.

Game ini tidak pernah mengecewakan dalam hal mengejutkan jantung. Mata mereka selalu dibuat membelalak lebar. Syarat yang diajukan terasa lucu sekali, begitu jahanam. Itu sama saja mereka tak diberikan kemudahan sama sekali. Sekali lagi mereka telah dipermainkan oleh harapan.

Tidak sekalipun terlintas di pikiran untuk menjual nyawa kedua orang tua. Meski begitu mereka tidak langsung menjawab ‘tidak’. Terjadi perang batin dalam diri mereka.

“Mana mungkin gue mau menukar nyawa gue dengan nyawa mama papa,” kata Niar pelan.

“Gu-gue sih mau aja,” seseorang menyetujuinya. Ia dari kelas 1 yang bernama Kania. “Selama ini gue tinggal sama ayah yang selalu sibuk dan ibu tiri yang hanya peduli dengan dirinya sendiri.”

“Gila lo! Begitu-begitu juga orang tua lo!”

“Lo mau jadi anak durhaka?”

Anak-anak yang lain memarahi dan meminta Kania untuk menarik keputusannya.

“Kasih sayang yang harusnya gue dapat, gue nggak merasakannya di rumah. Kalian bisa ngomong gitu karena kalian nggak berada di posisi gue!”

“T-tapi… tetap aja!”

“Jangan nyalahin gue! Salahin yang bikin game ini!”

Lagi-lagi terjadi konfik di antara mereka. Gian yang ditanyai oleh Meisya hanya diam tak menjawab.

“Gue juga mau menukar nyawa sama orang tua gue.”

Satu orang lagi menerima syarat itu. Dia anak kelas 2 yang bertubuh tinggi kurus bernama Ferdian.

“Ini orang-orang udah pada gila apa!”

Ferdian mengemukakan alasannya, “Orang tua gue kaya raya. Gue anak tunggal. Jadi otomatis harta warisannya bakal jatuh ke tangan gue kalau mereka mati.”

Mendengar pernyataan yang renyah itu, Ferdian mendapatkan kata-kata makian, kotor nan kasar dari anak-anak. Semua ucapan yang tak enak didengar telinga dicurahkan kepadanya.

Ada dua pilihan untuk menghentikan game supaya berhenti pada game ketujuh,

1.     Menukarkan dengan nyawa kedua orang tua.

2.     Menukarkan dengan satu buah ginjal.

Tulisan di udara meralat syarat yang diajukan. Kini ada dua pilihan. Mereka justru curiga mengapa malaikat maut itu menjadi sebaik ini. Dibandingkan game yang tak berujung, kehilangan sebuah ginjal merupakan harga yang sangat murah. Anak-anak menjadi ribut dengan artian bersemangat setelah melihat opsi kedua. Setidaknya mereka memegang harapan kembali.

“Kalau ada pilihan kayak gitu, udah pasti gue milih menukar satu ginjal gue!”

“Gue juga! Mending ginjal gue ilang satu! Itu nggak sebanding dengan harga nyawa orang tua gue!”

“Sama! Gue juga!”

Lihat selengkapnya