“Nggak perlu sampai game nggak berujung untuk membunuh kita, cukup sampai game ketujuh aja kita udah tumbang. Kita benar-benar udah dibodohi sama malaikat pencabut nyawa. Dia pasti tahu itu,” Aldi mendekat ke Gian dan Hara sembari memegangi dadanya yang sesak. “Gian, punya ide bagus?”
“Maaf, gue nggak bisa mikir. Buntu,” Gian menggeleng pelan. “Nggak ada jalan lain selain pergi nyari penawar.”
“Mungkin kita musti berpencar,” saran Hara.
“Ta-tapi kita harus nyari kemana?” Niar ikut dalam pembicaraan.
“Kemana aja.”
Windya, Ferdian, dan Kania yang menyimak dengan posisi terbaring, lalu memaksakan diri untuk bangun. Tak ada pilihan lain.
Meski kaki harus diseret, meski harus merayap, tubuh mereka harus bisa bergerak maju, begitu tekad mereka.
Tak ada petunjuk apapun. Mereka hanya disuruh untuk mencari sebagaimana mencari gulungan kertas pada balon. Meski tak ada batas waktu, waktu mereka sebenarnya tak banyak. Bisa jadi hanya beberapa menit lagi. Ditambah mereka harus menerima kenyataan hanya tersisa satu ginjal saja di badan mereka. Lengkap sudah.
Pemilik satu ginjal tidak sama dengan dua ginjal. Orang dengan satu ginjal harus ekstra waspada menjaga fungsi ginjalnya agar terhindar dari infeksi ginjal atau saluran urin lainnya. Yang pasti tidak boleh terlalu lelah. Banyak kasus yang terjadi tubuh mengalami penurunan stamina dan tidak mampu melakukan aktivitas secara normal.
Mereka semua berpisah. Semua berjalan layaknya siput―terasa begitu pelan. Satu hal yang mereka pahami bersama-sama, meski hampir tak ada harapan, meski dengan kondisi fisik yang terbatas ditambah penyakit ganas yang menyerang, sebentar lagi sudah dapat dipastikan meregang nyawa. Kecuali turun keajaiban dan petunjuk dari Tuhan.
Gian memasuki sebuah kelas yang paling dekat dengan halaman sekolah, yaitu gedung kelas jurusan IPS. Hampir seluruh kulit pada lengannya berwarna hitam karena serangan bakteri. Hanya semangat ingin tetap hidup yang membuatnya masih sanggup berjalan. Gian merasa bisa roboh kapan saja mengingat pandangannya mulai kabur.
Kelas 2 IPS 5 yang Gian masuki begitu kosong. “Apa gue harus periksa laci setiap meja ya? Penawar itu bentuknya kayak gimana? Disimpan di dalam botol kaca, plastik, stainless, atau apa?”
Di saat akan mengecek salah satu laci, Gian tumbang. Peradangan paru-paru dan kadar oksigen rendah dalam darah menjadi penyebab utama. Beberapa bagian tubuhnya seperti di kaki dan perut mengalami pembengkakan berisi nanah dan darah. Kelopak matanya melebar dan menutup bergantian. Nyawanya sudah pada di ambang pintu. Beberapa langkah lagi ia bisa melihat alam kubur. Namun, dalam pandangannya yang buram itu, tampak sebuah kotak kecil di sudut kelas.
Gian merasa kotak itu kelihatan tidak asing, ia lalu teringat kotak itu adalah kotak yang sama dengan kotak yang dilihatnya pada game pembukaan. Kotak kayu berisi pisau yang bila digenggam akan melesak ke jantung tiba-tiba.
“Se-semua peralatan dan perlengkapan yang berhubungan dengan game biasanya menghilang ketika selesai, tapi kenapa kotak itu masih ada di sana?” Gian tertawa sebisanya. Ia lalu menyimpulkan sendiri, “Ya… itu pasti karena benda itu masih berhubungan dengan game secara keseluruhan, makanya belum hilang.”
Tapi, Gian telah sekarat. Untuk menjangkaunya sekarang itu tidaklah mungkin. Sedangkan penawar itu berada beberapa meter di depan matanya.
Seseorang berlari dengan bugar melompati Gian yang tersungkur untuk memungut kotak itu.
“Hara…??”
“Iya, ini gue… Hara,” Hara membuka kotak itu, di dalamnya ada sebuah botol kaca berisi cairan biru muda. “Sekarang minum ini.”
Hara mendekatkan botol itu ke bibir Gian meminumkannya perlahan. Penawar itu langsung bekerja memusnahkan semua bakteri dan virus di tubuh Gian. Gian bisa merasakan badannya pulih dengan cepat.
“Kita harus cepat! Kita selamatkan yang lain juga!”