Growing Up: Let's walk on flowers path together

Lilly Amundsen
Chapter #1

Chapter 1

Agustus 2018

Angin meniup rambut panjangnya dengan lembut selagi ia menatap rumah berwarna putih tulang di seberang. Ia menghela napas, tatapannya teduh, namun ada kerinduan di sana. Daisy, begitu orang memanggilnya, usianya 18 kini, ia telah tumbuh menjadi gadis cantik yang mengagumkan.

Perasaan terenyuh muncul ketika seorang wanita berusia 40-an berjalan menghampirinya dari seberang. Dari arah rumah seorang teman –satu-satunya- yang selalu ada untuknya. Sekelebat ingatan hadir di kepalanya, bagaimana Noah tersenyum memandanginya, dan ingatan itu seolah hidup lagi di sana.

Lisa memeluk Daisy dengan erat. “Mmm ... bunda pasti bakal kangen banget sama kamu, sayang,” katanya. Baginya, Daisy sudah seperti anaknya sendiri, ia menyayanginya nyaris sama seperti ia menyayangi Noah dan Migel.

“Tolong berjanji untuk makan yang cukup, tidur yang cukup, dan jangan lupa bersenang-senang di sana, hum?” katanya, “Jangan belajar sepanjang hari, kamu harus keluar dan cari teman, ya,” lanjutnya. Daisy harus keluar dan mendapatkan banyak teman, itu perintah bukan sekedar permintaan.

Dalam dekapan Lisa, Daisy mengangguk. “Walau aku mengharapkannya,” katanya lagi, “carilah pacar!” bisiknya.

Hon, ayo kita berangkat!” seru Diana menutup pintu bagasi.

Acara perpisahan dengan Lisa pagi itu pun harus berakhir. Migel hanya menyapanya dengan lambaian tangan dari teras rumah. Lambaian tangan Lisa tidak berhenti walau mobil mereka sudah meninggalkannya cukup jauh. Ia merasakan kesedihan yang sama ketika Noah meninggalkannya sekitar 2 minggu lalu. Bedanya, dia tidak bisa menangis meraung-raung di depan Daisy. Saat mobil itu sudah tidak berada di jarak pandangannya, ia pun menurunkan tangannya dan mengusap air mata yang luruh di pipi. Melepas kepergian anak-anak selalu sesulit ini, pikirnya. Selalu saja merasakan sesak yang tidak berkesudahan. Kenyataan bahwa rumahnya menjadi sunyi sejak kepergian Noah membuatnya semakin sedih. Pikiran tentang bagaimana bisa ia tidak melihat Daisy pada hari-hari berikutnya sedang Daisy adalah favoritnya, selalu melukai hatinya.

Perjalanan Daisy menuju Bandung tidaklah butuh waktu lama, hanya sekitar 3 sampai 4 jam. Selama perjalanan, mobil tidak pernah sepi. Diana dan Ben, hampir menyanyikan semua lagu yang terputar dari tape, membuat suasana menjadi menyenangkan dan ceria, setidaknya bagi mereka. Seperti kembali ke masa saat mereka muda, pikirnya. Dean, 12 Tahun, selalu sibuk dengan dunia game-nya. Ia memakai headphone dan bermain game di ponselnya. Sedang Daisy, dia hanya memandangi pemandangan di luar jendela, sesekali melirik ibunya, dan merasakan kegetiran ketika mengingat ayahnya duduk di sana. Seharusnya dunia bersikap lebih baik padanya, pikirnya.

***

Mereka sampai di sebuah rumah bergaya Amerika dengan dua lantai. Rumah itu tampak bagus dengan warna pastel biru muda dan putih mendominasi dinding bangunan. Taman yang luas, yang juga dipenuhi aneka bunga dan rumput yang pendek-pendek, memperlihatkan betapa terawatnya rumah itu. Pemandangan menarik lainnya ialah bagaimana dinding-dinding rumah itu mulai diselimuti oleh bunga mawar yang merambat –mawar merah muda, dan peach. Itu membuatnya semakin manis. Mereka keluar dari mobil sembari memperhatikan bangunan yang mengagumkan itu.

Diana menghampiri Daisy, “Bagaimana, kamu suka, hon?” tanyanya.

Daisy meliriknya sebentar, lalu mengangguk, “Ya,” jawabnya sembari memandang kedua converse hitamnya yang usang.

Dirangkulnya putri sulungnya itu untuk beberapa detik sembari tersenyum, lalu ia memasuki halaman rumah itu lebih dulu. Di teras, Helena (62) sudah menunggu kedatangan mereka. Wajahnya teduh dan hangat, walau terlihat keriput di sudut-sudut wajahnya, tapi senyum Helena tetap mendamaikan. Usianya memang tidak muda, tapi tubuhnya masih bugar dan sehat. Gaya hidup sehatnya membuahkan hasil yang baik sekarang. Dan dia sangat bangga karena tidak menyia-nyiakan masa mudanya hanya untuk kesenangan. Saat menemukan Diana, Helena tertegun beberapa saat, wajahnya seperti terkejut dengan cara yang manis.

Diana menyambut Helena dengan senyum hangat. Keduanya saling mendekap, seperti sahabat lama yang baru bertemu. Tentu saja itu aneh, Daisy kira mereka baru saja bertemu tidak lama, dan saat melihat betapa akrabnya mereka, itu menumbuhkan tanya. Dean berjalan mendekati Diana, meraih tangannya, “Mom?” panggilnya, sedikit gugup.

Lihat selengkapnya