Di kamarnya, saat Daisy sedang membaca novel karya Rooney, ponselnya bergetar di atas meja, ia melirik sekilas pada layar ponsel yang menunjukkan nama Noah di sana. Ia baru saja membaca chapter tiga saat itu, lalu memutuskan untuk mengangkat telepon dari Noah. Sempat ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya meletakkan ponselnya di telinga, lalu suara Noah terdengar dari seberang telepon, suaranya yang menyenangkan dan merdu.
“Dais?” panggil pria itu. Daisy menjawab, “Ya?”
“Aku, kayaknya kesasar,” katanya, suaranya tidak menunjukkan kekhawatiran.
Daisy membenarkan duduknya, kedua alisnya hampir menyatu. “Hum, kesasar? Kok bisa?” tanyanya, ia agak bingung.
“Mmm ... tolong jangan marah,” katanya, Daisy menyimak. “Jadi, aku bilang Bunda kalau aku bakal ajak kamu makan di luar, dan jadilah aku pergi ke kost-an kamu.”
Daisy memejamkan mata, ia ingin tertawa. “Dais, bisa tolong kirim aku alamatnya?” ujar Noah, menyela.
Ia menghela napas lalu menjawab, “Ok, aku kirim alamat dari map.”
Dan dengan segera, Daisy mengirimkan titik keberadaannya yang ia dapat dari map. Ia tidak mengerti bagaimana tubuhnya bereaksi saat itu. Sedetik yang lalu, ia merasa senang Noah menghubunginya, tapi sedetik kemudian tubuhnya terasa panas, ia merasa panik sehingga ia berjalan mondar-mandir ke pintu lalu ke tempat tidur. Noah mengirim pesan, itu artinya dia sudah ada di depan rumah ini.
Ia menyambar jaket warna hitam tebalnya di kaitan sebelah cermin, lalu memasukkan ponsel ke saku jaket, membawa converse hitamnya dan segera berjalan keluar. Saat itu, lampu kamar Sisilia masih menyala, bahkan terdengar percakapan mereka dari balik pintu. Pembicaraan tentang perjalanan besok. Daisy tersenyum, mengenakkan topi hitamnya, lalu menyusuri ruangan makan, ruangan tamu, lalu menyelinap melalui pintu depan tanpa diketahui oleh siapa pun.
Ia menemukan sebuah mobil sedan berwarna gelap terparkir di sana. Ia menghampiri lelaki yang sedang memusatkan perhatiannya pada layar ponsel. Dia tidak sedang bermain game, dia hanya sedang sibuk mencari buku-buku yang tertera dalam daftar. Ia membuka note, lalu mencari satu per satu judul itu di browser internet, berusaha menemukan buku mana yang dimaksud dalam daftar.
“Hey,” sapa Daisy.
Lelaki itu, Noah, mengangkat pandangannya sedetik, lalu dengan segera menyimpan ponsel ke dalam saku jaketnya. Ia menatap Daisy, tersenyum hangat padanya. Tatapannya terlalu mendalam, ia seperti seorang yang baru saja pulang setelah menjalani kegiatan militer bertahun-tahun. Tiba-tiba, lelaki itu membuka tangannya, bersiap menerima gadis itu kalau-kalau berniat mendekapnya.
“Kamu gila, ya?” tanya Daisy, ia melipat kedua tangan Noah sehingga wajahnya yang semula merona, berubah masam. “Kamu gak mau peluk, aku?”
“Ngaco,” ujar Daisy, ia berjalan menuju pintu penumpang. Noah datang lebih cepat darinya, ia membukakan pintu untuk Daisy, walau ekspresinya masih terlihat masam. “Stop, aku udah bilang buat gak lakuin ini lagi.”
“No, alasan kamu gak masuk akal,” katanya, ia menyeringai, memamerkan giginya yang rapi. Ia melihat ke dalam mobil, lalu dengan cepat menatap Daisy lagi. “Aku bakal terus bukain pintu buat kamu, Dais.”
“Oww.”
Kepala Daisy serasa menegang, ia masuk tanpa mendebat lagi. Noah tersenyum, baginya ini lucu. Ia meletakkan satu tangan di atas mobil, lalu mencondongkan tubuhnya pada Daisy, “Sejujurnya, kamu cukup bilang makasih,” bisiknya.
“Thank you,” ujar Daisy, suaranya terdengar kesal, tatapannya tertuju ke depan. Noah tersenyum lagi.
***