Aerina akhirnya datang, lalu bergabung dengan Sisilia dan yang lainnya. Mereka menikmati sisa permainan di Trans Studio, lalu beranjak mencari makan ke stand makanan terdekat pada pukul 14.00. Mereka hampir melewatkan makan siang karena asyik bersenang-senang di sana. Aerina terlihat tidak begitu senang –begitu diam dan tidak ceria, tapi dia tetap bertahan di sana, bertahan menjadi bagian dari acara itu. Tidak butuh waktu lama, masih di area Trans Tower, mereka memesan beberapa makanan dan berbagi satu sama lain.
Sisilia dan Lizzy bersikap seperti dua orang ibu yang mengurus anak-anak mereka, sedang June bersikap seperti ayah yang tegas. Itulah keluarga kecil dari Bormes Les Mimosas house.
Tempat selanjutnya adalah Barga, berjalan di Braga sore hari adalah hal yang mereka tunggu-tunggu.
“Apa Daisy telepon, lu?” tanya June berbisik. Meidi menggeleng, pertanda tidak ada telepon dari Daisy.
Daisy dan Noah juga sedang menikmati makan siang di toko buku Gavin, hari ini mereka beruntung karena Gavin mentraktir mereka sebagai salam perkenalan. Tidak hanya itu, kebetulan sekali Gavin adalah kakak tingkat mereka di kampus, rasa persaudaraan di antara mereka tiba-tiba saja tumbuh.
“Jadi, kalian udah keliling kampus?” tanya Gavin.
Noah melirik Daisy sebelum akhirnya mengangguk, “Ya, kita udah dua kali keliling kampus,” jawab Noah, dan Daisy mengangguk setuju.
“Gimana, apa suasananya sesuai ekspektasi?”
“Ya, so far suasananya adem, apalagi karena banyak pohon-pohon yang aku yakin umurnya pasti lebih tua dari nenekku,” ujar Noah.
“Yeah, yap, itu bener, bahkan mungkin seumuran sama kakek buyut lo sih,” Gavin menambahkan, lalu mereka tertawa kecil –setuju dengan pernyataan masing-masing. Kali ini Gavin melirik Daisy yang juga ikut tersenyum. Noah mengernyit, melirik Daisy dengan tatapan aneh.
“By the way, kamu gak nyesel kan gak join bareng anak-anak lain?” tanya Noah seketika. Terkejut dengan topik yang tiba-tiba Noah angkat, Daisy melirik Gavin, yang juga ikut tersenyum menunggu jawaban yang tidak ia ketahui konteksnya.
“Ya, sedikit,” jawabnya, menatap pada makanannya. Ia memainkan sendok seolah tidak berselera makan. “Hmmm. Pergi ke tempat hiburan ekstrem, kayaknya bukan kamu banget deh.”
Daisy menatapnya, tatapannya mulai kesal, tapi ia hampir tertawa. “What?” tanyanya, ia tidak percaya Noah mengatakan hal semacam itu di depan orang yang baru mereka temui.
“Ya, kamu inget setahun lalu? Kamu pingsan setelah naik kora-kora, Dais.”
Daisy kesal, ia tersenyum getir. Mereka saling tatap. Noah menyeringai. Gavin menghela napas, merasa canggung dengan kedekatan yang tiba-tiba menjadi intens.
“Ya, seenggaknya aku bisa liat mereka naik tornado,” ujar Daisy. “Sambil makan es krim? Terus ingusnya meler terus ....”
“Noah! Itu jijik banget,” balasnya setengah tertawa. “Ya, tapi itu kamu, Dais.”
“Oh, itu Daisy kecil, Noah.”
“Ya, kalo gitu ayo kita ke sana, aku bisa duduk di sebelah kamu sambil makan es krim,” ajak Noah, ia menaikkan salah satu alisnya, kedua matanya berusaha terlihat menarik, nyaris tertawa.
“Yah, itu ide bagus,” kata Gavin bergabung. Noah melirik Gavin, tatapan mereka bertemu dan saling mengatakan setuju, lalu ia kembali menatap Daisy.
“Harus, kah, kita coba?” tanya Noah, siap dengan rencana gilanya. “Makan es krim sambil liatin roller coaster, terus kita pake jumpsuit,” lanjutnya.