Growing Up: Let's walk on flowers path together

Lilly Amundsen
Chapter #9

Chapter 9

Hari yang sudah mereka tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Hari yang selalu mereka bayangkan seperti musim semi di padang bunga kanola. Mereka tidak sabar menemukan atmosfer baru. Label kebebasan yang mahasiswa sandang adalah impian mereka sejak dulu. Masing-masing dari mereka sudah siap dengan rentetan daftar rencana untuk menjadi diri mereka sendiri selama perkuliahan ini.

Viggie mengaplikasikan lip-cream warna gelap dengan penampilan semi girly-rock. Rambutnya tertata dengan berantakan, memperlihatkan highlight biru dan pink di bagian dalam rambutnya. Ia memperhatikan pantulan dirinya di cermin, memastikan penampilannya sudah ok.

Di sisi lain, Sisilia sibuk membuat rambutnya sedikit bergelombang. Gaya rambut itu akan sangat manis dipadukan dengan rok berwarna khaki –sepanjang di bawah lutut- dan kemeja putih berenda.

“Sini kubantu,” ujar Flo menawarkan bantuan. Tentu saja Sisilia menyambutnya dengan senang. Di sampingnya, lizzy merapikan pakaiannya, ia mengenakkan jeans over size dan kemeja bergaris berwarna biru muda. Lalu di sudut lainnya, Sireen sedang sibuk mengenakkan jilbabnya. Flo berpenampilan paling unik, dengan fairy-grunge-style. Itu membuatnya terlihat keren.

“Flo, that’s cool!” ujar Viggie terkagum-kagum.

“Thanks.”

June datang dari pintu dan mendekat pada Viggie, mengamatinya, sesekali ia membantu bila diperlukan.

Meidi bangun dari tempat tidur Daisy, kedua tangannya terlipat ke belakang, menopang tubuh bagian atasnya. Ia melirik Daisy yang sejak tadi sibuk membawa novel karya Rooney.

“Mmm? Kamu belum selesai baca novel itu?” tanya Meidi. Itu cukup aneh, karena beberapa hari lalu, ia sempat melihat Daisy membaca novel yang lain, karya Tere Liye, ia mengira-ngira.

Daisy meliriknya, setelah beberapa detik ia mengangguk.

“Bukannya kamu baca yang lain kemarin?” tanyanya sembari merebahkan dirinya lagi.

“Ya. Cuma, gak pengen buru-buru,” jawab Daisy, yang ia maksud adalah ada kalanya ia tidak ingin ceritanya cepat berakhir, antara karena ceritanya yang terlalu menarik atau karena tokohnya terlalu mencuri perhatian.

“Kamu gak gugup, Dais? Ini hari pertama kita kuliah.”

Daisy tersenyum, “Noah kemarin kirim quote dari buku favoritnya.”

“Apa?”

“Don’t worry, the first day is always rough, but we’ll get through. Somehow we always do.”

Meidi tersenyum. “Yeah! Mmm, by the way, boleh aku liat jadwal kelas kamu?” tanyanya.

Daisy bangkit, berjalan menuju meja dan menyerahkan notebook-nya pada Meidi. “Thank you,” ujar Meidi.

Daisy duduk di tepi tempat tidur dan lanjut membaca chapter selanjutnya. “My God. Jangan-jangan, kamu pilih kelasnya di detik terakhir, ya?” tanya Meidi.

Daisy menoleh, dahinya mengernyit. “Hum? Gimana kamu bisa tahu?”

Ya. Ia tidak suka berebut. Lebih pada: dia tahu, dia akan kalah cepat. Dia hanya akan menunggu dan mendapatkan kelas siapa saja yang masih terbuka. Meidi bangkit, lalu menatap Daisy.

“Cuma satu kelas yang beda, sisanya sama,” ujar Meidi dengan ekspresi wajah terkejut. Mendengarnya membuat Daisy tersenyum.

“Jadi bener, ya, Dais?” tanya Meidi lagi. Daisy mengangguk, lalu mereka tertawa.

Mereka pergi ke kampus pada pukul 7.00 pagi. Noah sudah menunggunya di depan rumah. Saat Daisy menghampirinya, seketika udara menjadi aneh. Sejuk yang terasa aneh. Kali ini juga ada yang berbeda. Saat Daisy berada di hadapannya, Noah tersenyum sembari menyerahkan bouquet bunga Peony –warna medium shell pink, deep purple, peach, dan putih- yang dibalut kertas berwarna cokelat. Bouquet itu seperti dibuat dengan tidak niat, tapi anehnya, justru itu membuatnya terlihat aesthetic.

Lihat selengkapnya