Malam itu, mereka makan malam bersama. Helena tidak henti-hentinya tersenyum sembari memperhatikan mereka. “Jadi, gimana perkuliahannya?” tanyanya. Mereka terdiam, melirik satu sama lain. “Apa menyenangkan? Apakah sesuai ekspektasi kalian?”
Beberapa dari mereka hanya tersenyum. “Ya, berbeda jauh kayaknya Nek,” ujar Viggie.
Helena tersenyum. Ia menatap makanannya sembari bertanya lagi, “Benar, kah?”
“Ya,” jawab Sisilia ragu-ragu. “Baru awal aja udah dikasih tugas lumayan.”
Helena tersenyum lagi. “Ya, aku juga, bentar lagi ospek jurusan,” Lizzy menambahkan dengan nada sedih.
“Ya, itu kegiatan yang sangat penting Lizzy. Kamu harus bersyukur dibanding sedih.”
“Kenapa, Nek?” tanya Lizzy bingung. “Hmmm ... karena saat ospek itu, kamu akan belajar banyak hal. Termasuk mengenal budaya jurusan kamu: tugas-tugasnya seperti apa, dosen-dosennya bagaimana, nilai dan normanya,” katanya. “Dan juga, kamu akan punya gambaran seperti apa proses penyusunan tugas akhir –skripsi- yang terkenal mengerikan. Jadi, manfaatkan sebaik mungkin, hum?”
Lizzy mengangguk pelan, “Ya.”
Mereka melanjutkan makan malam dan bersiap untuk mengerjakan tugas perkuliahan mereka masing-masing. Flo, Lizzy, Sireen dan Viggie memilih berkumpul di kamar Sisilia. Katy memilih berdiam diri di kamarnya. June dan Meidi berkumpul di kamar Daisy, ikut bernyanyi setiap kali lagu yang mereka suka –atau tahu- berputar, sedang Daisy berusaha untuk menamatkan novel Rooney yang sebelumnya ia baca, karena ternyata Rooney sudah menerbitkan novel barunya.
Dan Aerina, ia duduk di dekat jendela. Menyulut rokoknya dan menghirup udara malam yang dingin. Udara dingin itu seperti berbentuk tongkat tajam yang menusuk-nusuk kulitnya secara kasar. Walau begitu, ia tidak berniat untuk menutup jendelanya. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal. Ponselnya menunjukkan sebuah pesan masuk di layar. Kumail. Dan dia tidak membukanya. Ia menatap pada jalanan dan menyesap rokoknya lagi.
Minggu pagi, Daisy menyelinap keluar pada pukul 6.00. Tidak ada yang tahu dia pergi keluar kecuali Meidi dan Mbak Ami. Dia mengenakkan topi, kaos putih bertuliskan ‘Everyday is Sunday’ yang lalu dilapisi kemeja flanel cokelat-cream, jeans dark-brown dan converse cokelat sebagai sepatu wajib. Dalam sekian detik, dia sudah berada di hadapan Noah.
“Hey!” sapa Daisy sembari menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
Lagi-lagi, Noah membawakannya bouquet bunga yang sama seperti yang kemarin, hanya beda rangkaiannya saja. Daisy menatap bunganya, lalu mengernyit menatap Noah.
“Apa?” tanya Noah bingung.
Daisy mengeluh, “Kamu udah kasih aku bunga hari Senin, kamu lupa?”
“Apa sekarang aku juga dilarang bawa bunga? Aku bisa kasih kamu bunga tiap hari kalau kamu mau, Dais,” ujarnya setengah tertawa.
“Itu pemborosan. Kita harus hemat, Noah.”
Noah tersenyum, ia ingin mengatakan suatu fakta yang Daisy tidak tahu, tetapi ia mengurungkannya. “Aku udah hemat setiap hari Daisy.”
Dia menemukan rambut Daisy yang lagi-lagi sedikit berantakan di balik topinya. Itu membuatnya tersenyum, ada kepuasan baginya hanya dengan melihat rambut itu. Walau dalam lubuk hatinya, ia selalu berharap menemukan rambut Daisy yang rapi pada suatu hari karena bertemu dengannya.
Mereka pergi ke bagian Bandung yang sejuk, melewati Dago, dan sampai di daerah Lembang. Ada tempat yang disarankan oleh David di sana. Sebuah tempat terpencil dengan padang savana dan kolam kecil menyerupai danau. Tempat itu tidak jauh dari rumah kerabat David, sehingga tidak aneh jika David bisa tahu tempat ini. David bercerita bahwa dulu, dia sering membawa kekasihnya ke sini hanya untuk piknik atau sekedar duduk sembari memandang langit. Pagi itu, Noah berharap membuat momen yang indah juga bersama Daisy.