Daisy meletakkan ponselnya di meja sembari membuka jendela, ia duduk sembari menyiapkan novelnya. “Hon, minggu depan Dean ikut lomba drama loh. Dia pasti bakal seneng banget kalo kamu bisa dateng. Sayang banget ya, kamu udah jauh,” ujar Diana dengan mode loud speaker.
“Ya, lagian dia gak akan pengen aku di sana, Mom.”
“Kata siapa? Waktu itu, Mom cerita sama Ayah, soal Project Pop itu, sama hari pertama kamu kuliah, Dean nyimak paling serius tahu. Tapi ya gitu, sambil pura-pura main game.”
Daisy tersenyum dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Ia menarik napas, mendengarkan Mamanya terus bicara. “Terus Mom sengaja cerita yang keras biar dia bisa denger jelas.”
“Oh, ya, bunda Lisa semalem dateng, katanya seminggu ini Noah susah dihubungi, kalo bales chat bisa sampe beberapa jam kemudian, dan balesnya singkat-singkat lagi.”
Daisy tertawa kecil sekarang, Diana juga. “Terus Mom godain aja, mungkin dia punya pacar kali, makanya jarang hubungin. Kan malu kalo tiap detik diteleponin mulu, udah kaya anak SD aja. Terus dia galau dong.”
“Dia gak terima kalo Noah punya pacar. Bagi dia, Noah masih bayi kesayangannya. Sulit buat nerima kenyataan kalo dia bakal ngabisin waktu lebih banyak sama cewek lain, terus sayang-sayangan. Dia geli sendiri jadinya. Dia bilang, kalo Noah bawa ceweknya ke rumah, dia mau pura-pura jutek dan cuek, biar bisa tahu mana yang tulus sama Noah, dan mana yang enggak,” ujarnya, sembari setengah tertawa.
Diana menghela napas, tiba-tiba hening. “Tapi kami semua tahu, bukan itu alasan sebenenernya, hum?”
“Oh, ya, Hon. Dad bilang, kamu gak pernah angkat telepon darinya? Hon, sesibuk apa pun, sempatkan ya untuk angkat, dia kangen banget sama kamu.”
Daisy menyeka air matanya yang jatuh di pipi. Perbincangan pagi dengan Mamanya berakhir. Ia jatuh di lantai, memeluk lututnya, lalu menangis tanpa suara –karena khawatir seseorang mendengarnya.
Helena kembali dari kunjungannya ke rumah teman di Garut. Walau hanya berjarak beberapa jam saja, tapi dia tetap membawa oleh-oleh super banyak untuk penghuni rumah itu. Dia mengajak mereka berkumpul dan menikmati hasil buruannya di pasar tradisional Garut. Hari itu, Aerina bergabung bersama mereka. Tentu saja, June dan Sisilia-lah yang paling lega. Justru Daisy yang absen dari pertemuan pagi itu. Meidi bilang, Daisy sedang tidak enak badan, padahal ia mengarang saja.
Tapi bertapa terkejutnya mereka melihat sikap Helena yang begitu berlebihan. Ia seperti baru mendengar alarm kebakaran. “Dia lagi istirahat, Nek, dia cuma pengen istirahat,” ujar Meidi.
“Oh, syukulah.”
Sikapnya terlihat aneh bagi mereka –saling menatap satu sama lain dengan rasa penasaran yang sama. Minggu itu, tidak ada acara pergi jalan-jalan. Terlalu banyak yang absen dari acara mingguan itu karena tugas. Terlebih, mereka mantap untuk datang ke acara anak TV Film malam ini.
“Semangat!” ujar June saat melewati kamar Sisilia.
Meidi mengetuk pintu kamar Daisy, cukup lama sampai Daisy membukanya. Pintu itu dibuka sedikit, seperti celah gerbang yang biasa digunakan anak kecil untuk kabur. “Boleh aku masuk?” tanya Meidi.
“Ya, masuk aja.”
Meidi masuk, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mengamati Daisy. “Are you ok?”
Tidak. Tentu saja tidak. Meidi bisa melihat bengkak di kedua matanya. “Ada apa?” tanya Meidi lagi.
Daisy menggeleng pelan, “Aku abis telepon Mamaku,” katanya. Meidi langsung mengakhiri pertanyaannya, ia mengangguk lalu duduk di tempat tidur Daisy.
“Malam ini, kita mau nonton apa?” tanyanya sembari merebahkan tubuhnya dengan sempurna di atas sana.