Growing Up: Let's walk on flowers path together

Lilly Amundsen
Chapter #15

Chapter 15

Aerina menyesap rokoknya yang terakhir, lalu membuangnya. Ia duduk di antara Saska dan Lioni –berkumpul bersama teman-temanya dari SMA. Terlihat begitu kontras ketika Aerina terlalu diam saat rekan-rekannya terlihat asyik membicarakan suatu topik dan tertawa karena hal lucu. Seperti terdapat tembok yang memisahkan mereka. Saska melirik Aerina di tengah-tengah tawa. Ia menyadari, temannya begitu diam, walau begitu, ia juga tidak tahu kenapa ia tetap di sini. Ponselnya menunjukkan nama seseorang di layar, sebuah panggilan tidak terjawab. Ia meliriknya, lalu memandang ke depan, pada udara malam yang kosong.

“Kumail, huh?” tanya Saska sembari menyentuh bahu Aerina. Aerina hanya melirik, lalu menundukkan pandangannya lagi. “Kalian udah ketemu?” tanyanya lagi.

Aerina menggeleng, “Ada rokok?” tanya Aerina. Saska mengangguk, mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya dan membaginya pada Aerina. “Mau join?” tanya Saska.

Tatapan Aerina terpaku. Ia tidak menunjukkan ketertarikan, tapi juga tidak terlihat membenci. Wajahnya seperti biasa, sulit dibaca, bahkan oleh Saska yang sudah bertahun-tahun menjadi temannya.

***

Senin pagi di sambut oleh sinar matahari yang cerah. Katy bangun dengan lega. Ingatannya memutar mimpi indah yang terjadi semalam. Hanya dengan membayangkannya saja sudah mampu membuat wajahnya memerah. Ia tersenyum, lalu membenamkan wajahnya ke bantal, merasa malu. Lalu kemudian, ia bangkit, terduduk, menatap pada ponselnya yang berdering. Layar ponselnya menunjukkan nama Mamanya.

Wajah itu berubah dengan cepat, dari tersipu, menjadi kelam. Seperti kegelapan baru saja merenggut warna dalam hidupnya. Ia tertegun, membiarkan dering ponsel itu hilang.

***

Katy adalah anak tunggal dalam keluarga yang sakit, menurutnya. Ia memang hidup serba cukup. Ayahnya punya bisnis restoran yang cukup sukses, lalu berinvestasi di batu bara dan kelapa sawit. Ibunya mengurus hotel warisan dari Neneknya di Jogja, sehingga jarang sekali ia bertemu Katy di rumah –hanya 3 hari selama seminggu. Walau begitu, itu tidak menghalanginya dari mengatur kehidupan Katy. Bahkan keberadaannya di kampus ini semata-mata karena gengsi ibunya.

“Kamu mau apa?” tanya Ibunya. “Aku mau kuliah tata boga, aku mau ngurus resto Ayah aja.”

“Apa? Enggak! Bikin malu aja. Kamu tahu, anak ketiga Budemu itu tahun lalu diterima Kedokteran UGM, anak sulung bibimu jadi Dokter Gigi: lulusan UI, lalu Andika tahun ini diterima di ITB setelah gap year. Kamu mau mempermalukan ibu dengan cuma belajar tata boga? Hah! Minimal kamu kasih ibu mantu Dokter dong! Bisanya bikin malu aja.”

Perkataan itu terus menggerogotinya. Sampai terasa sesak, terasa sakit. Sampai ingin lenyap. Tidak ada yang bisa diharapkan dengan tumbuh di keluarga yang sakit, pikirnya.

***

“Katy!” panggil June saat Katy menuruni tangga. Mereka –anak kost yang lain- sedang sarapan tanpa Helena pagi ini, padahal mereka tahu bahwa Helena sedang ada di kamarnya. Katy duduk di samping Sireen, bergabung menyantap sarapannya yang pagi itu terlihat lezat dengan telur balado, sup dan sambal terasi.

Sireen memandangi Katy dengan aneh, sampai membuat Katy bingung, namun saat Katy menunjukkan ekspresi tanya “Apa?” dia melengos tanpa menjawabnya.

Hari itu, sepertinya menjadi hari yang baik untuk mereka. Tidak ada pagi yang diawali dengan keluhan. Daisy pergi dengan Noah seperti biasa, dan bouquet bunga yang Noah bawa, berhasil membuat Lizzy dan yang lainnya merasa ikut berdebar. “Sampe kapan gue cuma nonton aja, Ya Tuhan?” gerutunya, dengan nada yang aneh, antara terharu dan sedih.

“Pasti ada waktunya, tunggu aja,” sahut June.

Sepanjang jalan, Katy memandang ke balik jendela luar. Ingatannya memutar lagi wajah Satria yang ia temui malam kemarin. Hampir saja ia lupa dan menganggap kejadian itu hanyalah mimpi. Lalu wajahnya memerah dan ia tersenyum tanpa ia sadari. Saat di kelas, keadaan jauh lebih berbeda. Ia tidak merasa seperti orang aneh yang tidak menjadi bagian dari dunia ini lagi. Ia benar-benar hidup untuk saat ini. Saat ini.

Kelas selesai, dan dia pun keluar. Ia berjalan di lorong dan baru menyadari bahwa halaman depan kelasnya dipenuhi dengan bunga-bunga. Itu mengingatkannya pada halaman rumah Helena. Ia berhenti, lalu berjongkok untuk memotret bunga chamomile yang terawat. Dipandanginya hasil fotonya, dan ia merasa bangga.

“Katy?”

Lihat selengkapnya