Selesai kelas, Daisy dan Noah menyusuri jalanan kampus. Suasananya cukup sepi. Mereka melakukannya dengan sengaja, untuk menghabiskan waktu bersama. Daisy berjalan di sisinya. Senang sekali Noah, bisa memandangi Daisy sepuasnya. Sejak insiden kemarin, semuanya justru menjadi lebih hangat. Daisy banyak tersenyum hari ini, Noah juga. Ia melirik Daisy, lalu kembali menatap ke depan, menghela napas, lalu berkata, “Ingatan itu aneh, ya” bisik Noah.
“Ingatan?” Daisy mengangkat salah satu alisnya. “Aneh gimana?”
“Aku pernah baca di suatu buku....”
Daisy menatapnya aneh, berkata dengan suara tersenyum, “Kutipan dari mana lagi?”
Noah membalas tatapannya, ia tersenyum malu, “Kamu pasti tau.”
“Uh’huh?”
Noah melirik Daisy beberapa detik, lalu mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghela napas. “Kadang, kalo aku lagi inget waktu kita bareng, yang kulihat bukan cuma kamu ... tapi juga gambaran lingkungan yang lebih besar ... kaya lagi nonton film, terus kamu sama aku jadi pemeran utamanya. Padahal waktu itu, aku cuma liatin kamu ... tapi dalam ingatan, aku bisa tahu kalo waktu itu angin niup rambut kamu, dan kamu jadi super keren. Suasana yang gak aku sadari waktu itu, justru tergambar jelas di ingatan. Aneh, kan?”
Daisy tertegun, tidak berkata-kata mendengar penjelasannya, sampai Noah membalas tatapan Daisy, dan mereka saling tersenyum.
Hari itu, dedaunan mulai menguning –orange dan merah, beberapa dedaunan gugur, sehingga berserakan di mana-mana. Suasananya juga teduh dan menyejukkan.
“Besok, atau lusa, aku juga pasti bakal jadi penonton ingatan hari ini,” katanya. Daisy melirik Noah, “filmnya mungkin kaya gini: aku sama kamu lagi jalan di kampus, di bawah pepohonan yang tinggi dan menguning ... selalu ada adegan di mana angin dateng, meniup dedaunan, meniup rambut kamu, dan bikin kamu jadi keren,” katanya, ia menatap Daisy dengan tersenyum, lalu menatap ke atas menjangkau dedaunan, “Aku selalu suka bagian itu.”
Daisy menunduk, wajahnya memerah. “Kamu mau tahu bagian mana, Dais?”
Daisy menoleh padanya. “Itu bagian kamu jadi keren,” saat mengatakannya, suara Noah terdengar sungguh-sungguh –seperti mengumpulkan segala kesungguhan yang ia miliki untuk mengakuinya. Daisy menunduk, wajahnya semakin merah dan panas, tapi anehnya ia merasa tidak senang.
“Kamu harus liat bagian itu, Dais. Itu, super duper keren,” dia tidak mengatakan “mengagumkan sekaligus memabukkan”.
“Haha ... kadang aku lupa lagi ngobrol sama siapa.”
“Siapa?”
“Penggemarnya mas Angga,” katanya sembari tersenyum dan menatap Noah. Itu membuat Noah tersipu, tersenyum malu. Suasananya berubah sedikit canggung, sedang wajah keduanya memerah seperti terkena demam. Seketika udara menjadi semakin sejuk, walau dunia sekitar seolah berhenti. Suara dedaunan yang menari dengan angin menyadarkan Noah, sekaligus mengingatkannya pada betapa mengagumkannya Daisy ketika angin menyapu rambutnya. Ia tersenyum, sampai berkaca-kaca.
Di sela-sela menuju kost-an, “By the way, David ngajak kita ke rumah Neneknya di daerah Cimenyan, kalo gak salah.”
“Cimenyan? Masih daerah Bandung?”
“Uh’huh.”
“Kapan?”
“Malam minggu ini.”
“Oh.”
“Kamu mau ikut?”
Daisy sempat membuat jeda, ia berpikir beberapa saat, lalu menjawab, “Ya, sure!”