Air wajah Sisilia tampak begitu gelap, sorot matanya sendu, diliputi oleh perasaan haru sekaligus khawatir. Di sebelah lemari, June berdiri –bersedekap- dengan tegas, tatapannya sedikit tajam. Tatapan mereka tertuju pada hal yang sama. Aerina. Ia duduk di kursi belajar milik June. Kepalanya menunduk seperti anak yang sedang dimarahi orang tuanya. Hanya saja, wajah anak anak yang sedang dimarahi itu tidak seharusnya sekeras Aerina. Tatapan June dan sikap keras Aerina, membuat seisi ruangan terasa sesak.
Sisilia tidak bisa menahannya. Perlahan, air matanya jatuh. Air mata itu terasa hangat di pipinya. Ia menatap langit-langit, membiarkan air matanya menguap. Tidak hanya Sisilia saja, June juga menahan diri dengan keras. Bila saja ia tidak berusaha, sudah pasti semua kata-kata kejam dalam kepalanya keluar begitu saja. Ia memejam, menghela napas, seolah rasa sesaknya bisa keluar seiring dengan hembusan napasnya. Lalu ia menatap Aerina lagi, kali ini dengan sorot mata yang berbeda.
“Jadi Rin ... lo baik-baik aja?” tanya June.
Aerina tidak merespons, tidak juga mengangkat pandangannya. “Gue, kami khawatir sama lo, Rin,” timpal Sisilia dengan suaranya yang bergetar, segera punggung tangannya menutup bibirnya, menahan tangis yang berusaha keras meluruhkan sesaknya.
Aerina masih tidak merespons. Air wajahnya yang ia sembunyikan di balik sana tidak berubah banyak, masih begitu keras.
“Rin, boleh gue tahu apa yang terjadi?” pertanyaan itu akhirnya keluar juga setelah June menahan diri sejak kurang lebih setengah jam lalu.
“Rin?” panggil Sisil, suaranya terdengar hangat, walau tetap saja terdengar bergetar.
Hening untuk beberapa saat. June dan Sisil saling bertatapan, menanyakan hal yang sama. Melalui kedua mata mereka, mereka sepakat untuk menunggu. Tatapan mereka mengarah pada Aerina lagi. Menunggu dengan hati-hati.
Aerina mengeluh lirih, “Gue, baik-baik aja,” ujarnya, dan hanya itu.
Mendengar jawaban itu, Sisilia dan June saling tatap, keduanya memiliki pemikiran yang sama bahwa Aerina tidak berkata jujur. Tapi keduanya juga sepakat untuk tidak membuat Aerina kesulitan.
“Gue baik-baik aja,” tegasnya lagi seolah menyadari apa yang Sisil dan June pikirkan, “apa sekarang, gue boleh pergi?” tanyanya, tanpa mengangkat pandangan sedikit pun.
“Ya, tentu.” Jawab June. Sisil juga tidak berusaha menahannya.
Tanpa berlama-lama lagi, ia keluar. Ia menutup pintu kamar June dengan perlahan, lalu untuk beberapa saat, ia sempat berdiri di sana –menyandarkan tubuhnya. Tatapannya sendu, air wajahnya juga berubah layu. Sesaat setelah Aerina keluar, Sisil tidak bisa menahan tangisnya. Tetap saja, sisi Sisilia yang begitu sensitif masih membuat June terkejut. Dia tidak akan bisa terbiasa dengan sisi itu.
Sesampainya di kamar, Aerina mengunci pintunya. Ruangan itu masih sama, dingin dan terasa kelam. Keadaan yang berantakan justru membuatnya terasa seperti ruangan tak berpenghuni untuk waktu yang cukup lama. Ia duduk di atas tempat tidur dengan tatapan kosong mengarah pada tembok, seolah tatapan itu baru saja menembusnya dan menatap sebuah objek yang entah di mana. Lalu sesaat setelahnya, ia menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.
Hatinya sesak, ia tidak bisa menahannya selain menangis. Tangisannya begitu memilukan, suara yang tertahan dan tertekan –berusaha untuk tidak terdengar, wajah kemerahan, dan pikiran yang gelap. Seketika dunia seperti berhenti berputar di sekelilingnya. Ponselnya berdering, terdapat sebuah nama di layar. Itu, Kumail.
***
Flo duduk di atas tempat tidur sembari membalas pesan dari Zaxi –kekasihnya, sedang Viggie menduganya dengan tepat hanya dengan melihat senyum Flo yang berseri. “Zaxi, huh?” tanya Viggie.
Flo menjawab –walau sebenarnya Viggie tidak membutuhkan jawaban- dengan sedikit lambat, “Uh’huh!”
Serangkaian pesan dari Zaxi selalu berhasil membuat Flo tersipu. Siapa pun bisa tahu bahwa wanita itu sedang diselimuti oleh banyak balon cinta. Viggie tersenyum melihatnya, sampai pada senyum itu memudar, pikirannya tertuju pada kejanggalan yang ia rasakan setiap kali melihat June dan Sisilia pergi bersama.
“Flo?” panggilnya.
“Ya?” jawab Flo dengan fokus yang terarah ke layar ponsel.
“Lo ngerasa ada yang aneh, gak?”