Katy menutup pintu kamarnya, tatapannya tertuju ke lantai, sedang pikirannya tidak berada di sana. Pikirannya terbang menuju basemen di mana ia bertemu Satria. Wajahnya yang semula gugup, perlahan tenang. Ia menyandarkan punggungnya pada pintu. Sesuatu terasa berbeda dalam dirinya. Ia memejamkan mata, lalu perlahan tersenyum.
***
Pukul 10.00 pagi, kelas Daisy dan Meidi belum juga selesai, padahal seharusnya, kelas selesai pada pukul 09.30 pagi. Layar ponsel Daisy menunjukkan pesan dari Noah, tertulis di sana: Hari ini aku ada kelas siang.
Segera, muncul lagi pesan lainnya: Apa ... aku skip aja, ya?
Kemudian datang pesan lainnya: Kasih tahu aku harus gimana?
Daisy tersenyum, ia merasa sedang berkomunikasi dengan orang yang berbeda. Noah yang ia kenal mungkin akan datang dengan keputusannya. Daisy membalas: Mau dilihat dari segi mana pun, itu bukan urusanku.
Pesan lainnya muncul dengan cepat: Mulai hari ini, itu urusan kamu. Cepat putuskan!
Membaca pesan yang baru saja ia kirimkan pada Daisy, membuatnya tersipu.
Daisy mulai kesal, ia tidak bisa menahan sikap aneh dan kekanak-kanakkan Noah kali ini. Ia memilih untuk mengabaikannya. Namun selang beberapa menit, pesan lainnya datang: Jadi, apa keputusannya?
Daisy menghela napas. Tanpa ia sadari, kelas berakhir. Ia panik. Tatapannya mengikuti ke mana Dosen pergi.
“Tenang aja, gak ada tugas, kok,” ujar Meidi dengan tatapan usil.
Tatapan mereka bertemu, namun, terlihat sangat kontras. Tatapan Meidi yang usil tidak bisa disandingkan dengan tatapan Daisy yang panik dan khawatir. “Kamu, yakin Mei?”
Meidi mengangguk, “Uh’huh,” jawabnya sembari merapikan buku. “Tenang aja, kamu bisa mengandalkan aku, jadi, chatting-an aja sepuasmu,” goda Meidi dengan tersenyum.
“Hey!” sahut Daisy, ia membawa buku-bukunya –terburu-buru, lalu mengejar Meidi, menyamakan langkah dengannya.
Di pintu, jalan mereka terhalang oleh seseorang. Meidi langsung tahu keadaan macam apa yang sedang terjadi di hadapannya. Ia melirik Daisy, “Apa aku harus pergi?”
“Gak perlu,” jawab Daisy mantap. Tatapannya dingin, tertuju pada Kelana. Bahkan sikap aneh yang begitu tiba-tiba, tidak membuatnya penasaran.
“Dais,” suara Kelana bergetar, ia mungkin gugup, “boleh aku minta waktunya, sebentar?” tanya Kelana. Hari itu, untuk pertama kalinya, lelaki itu datang pada Daisy, setelah sekian lama hanya memandanginya dari jauh.
“Ya. Ada apa?” tanya Daisy, ia tidak menunjukkan ketertarikan. Kelana melirik Meidi, ragu-ragu, ia berkata, “Maksudku, cuma kita berdua.”
Kedua mata Meidi membulat, “Ups! T-tenang aja. Aku bakal pergi, kok.”
Dengan segera, ia undur diri dari pertemuan itu. “Mei? Meidi?” panggil Daisy, tapi Meidi tidak berniat menoleh, apalagi kembali.
“Aku tunggu di kantin,” jawabnya, lalu memberikan gestur salut.
Kini, tersisa Kelana dan Daisy. Suasananya terasa berbeda setelah Meidi pergi. Seketika gugup menyerang Daisy. Ia merasa akan terserang sesak. Ia menunggu Kelana dengan tidak sabaran. Ia menundukkan pandangannya, tidak peduli seberapa tidak sopan sikapnya.
Sudah cukup lama dia diam, pikir Daisy. Itu karena Daisy tidak melihat betapa menyedihkannya Kelana. Lelaki yang berdiri di hadapannya itu sedang terserang gugup juga, lebih dahsyat jika dibandingkan dengannya. Jantungnya berdebar, seperti akan segera melompat keluar dari tubuhnya. Walau ia tetap terlihat keren, tapi suhu tubuhnya berubah menjadi semakin panas. Ia sedang terserang demam asmara.
Merasa aneh, Daisy mengangkat pandangannya. Ia keheranan. Tatapan mereka bertemu. Seketika, udara di sekitar Kelana berubah sejuk. Menemukan tatapan Daisy, membuat Kelana menemukan keberanian yang sejak beberapa menit lalu hilang. Baginya ini istimewa, seperti magis, hanya dari tatapannya saja sudah membuatnya tersihir.
“Jadi, ada apa?” tanya Daisy, kesabarannya nyaris menyentuh puncak.
“Mmm ...,” ujarnya. Gawat! Ia tidak bisa mengatakan “Sabtu ini, kamu ada waktu?” pada Daisy.