Sikap Lisa yang seperti itu pasti membuat anak-anak terkejut dan kesal. Tapi Diana tahu, sikapnya yang berubah marah bukan tanpa alasan. Alasan itu bukan sekedar karena frekuensi Noah menghubunginya berkurang, bukan juga karena ia percaya Noah memiliki pacar. Alasan itu, bukan lain karena dugaannya tentang Noah yang berpacaran dengan gadis lain. Bertahun-tahun ia menyaksikan anak lelakinya jatuh cinta pada Daisy, dan setelah sekian tahun itu, kenyataan bahwa ia berakhir berpacaran dengan wanita lain, benar-benar seperti pengkhianatan untuknya. Ia sangat kecewa. Lebih dari itu, karena ia juga tahu bagaimana Daisy terhadap Noah.
“Bund, aku gak punya pacar.”
Pernyataan itu seperti kejutan manis untuknya. Lisa berubah cerah dalam sekejap. Wajahnya yang kesal berubah menjadi berseri lagi. Ia langsung menatap Daisy yang juga sedang menatapnya. Lalu memberinya wink, membuat Daisy terkejut. Ah, itu ... pikir Daisy.
“Jadi, kamu gak punya pacar, hon?”
“Hah, aku tahu, harusnya aku gak dateng ke sini,” gerutu Noah dengan kesal. “Hey, kenapa kamu bilang begitu?” ujar Lisa dengan sendu.
“Hey, Lisa ... harusnya kamu sudah tahu sejak awal. Lihat Noah, mana mungkin anak seperti itu bisa punya pacar. Ya, walau akan sulit menolaknya, tapi tubuhnya yang tidak berotot bisa menjelaskan segalanya. Saat Ben dan aku berpacaran, dia mulai membentuk tubuhnya. Dia bilang, ‘Aku ingin menjadi yang terbaik untukmu, dengan begini, kau tidak akan bisa melirik laki-laki lain’ hahaha.”
Lisa tertawa mendengar gurauan Diana. “Well, si tukang pamer ini mulai lagi,” komentar Lisa, walau begitu, mereka –Lisa dan Diana- tetap tertawa.
Suasana di kamar hotel itu mulai menghangat karena tawa yang menggema. Tapi sepertinya, atmosfer itu tidak sampai pada Daisy. Di antara keempat manusia itu, dia terlihat kesakitan. Belakangan, Noah mengetahuinya, tapi ia tidak berniat merusak suasana hangat yang sudah susah payah dibangun. Baru setelah mereka selesai makan, saat ia dan Daisy sedang di balkon, menunggu orang tua mereka siap-siap, ia menanyakannya.
“Dais, apa ada yang sakit?” tanyanya. Ia menggenggam tangan Daisy penuh perhatian. Cukup lama sampai Daisy menjawab, “Enggak.” Itu terdengar terlalu dingin untuknya.
“Apa bunda bilang macam-macam?” ia menghela napas, “I’m sorry ....”
“Enggak,” jawab Daisy dengan segera. “Oh, ok. Aku cuma khawatir kamu kenapa-kenapa.”
Daisy baru sadar sesuatu, mungkin alasan kenapa Noah bersikap begini, karena ekspresi wajahnya yang menyedihkan. Ia menghela napas, lalu perlahan tersenyum. Namun, pernyataan ibunya membuat luka dalam dirinya semakin jelas. Ia menatap Noah yang sejak tadi memandangi kedua tangan mereka yang bertaut.
“Apa kamu punya pacar?” tanya Daisy tiba-tiba. Mendengarnya membuat Noah kesal. Ia mengangkat pandangannya, ingin sekali menunjukkan betapa kesalnya dia. Namun, menemukan Daisy yang tersenyum, seketika kekesalannya hilang. Ia tersenyum.
“Hari ini Bunda ... aku gak tahu, kayaknya dia lagi ada masalah. Bunda yang seperti ini, bener-bener yang paling nyebelin, sih.
Mereka tertawa. Untuk sesaat, Noah bisa melupakan keganjalan yang sebelumnya ia lihat di wajah Daisy.
Mereka bergabung dengan Diana dan Lisa. Tujuan Lisa dan Diana kemari, bukan lain dan bukan tidak adalah karena mereka khawatir anak-anak mereka tidak bisa merawat diri mereka dengan baik. Sehingga, mereka membawa anak-anak menuju suatu tempat yang sangat penting menurut mereka. Ya, toko buah-buahan di daerah pinggiran Bandung.
Butuh sekitar satu setengah jam menuju kemari. Diana dan Lisa terlihat sangat bersemangat. Daisy dan Noah mengikuti saja. “Bunda sering ke sini,” bisik Noah.
“Apa ini semacam langganan?”
“Ya, bisa dibilang begitu. Bunda bahkan udah akrab sama pemiliknya, namanya Dewi. Bunda biasa panggil dia ceu, ceu Dewi.”
“Teh Lisa!” sapa ceu Dewi dengan sangat ramah. Mereka saling mendekap, seperti saudara. Dengan segera, ia menemukan Noah. “Eh, a Noah, ya?” tanya ceu Dewi, sedikit ragu.
“Iya, kali ini saya ajak Noah, ceu.”
“Wah, udah lama sekali gak ketemu, makin tinggi dan ganteng aja,” ujarnya, membuat Noah malu. Daisy tersenyum saja mendengarnya, tatapannya beralih pada Noah yang malu-malu, telinganya memerah. Terlihat lucu.
“Eh, siapa ini? Atuh ini teh, pacar a Noah?”
Dibanding terkejut mendengar pertanyaan itu, kini Daisy justru kesal. Pembicaraan soal pacar cukup memuakkan. Ia melirik Noah, yang juga sedang menatap ke arahnya. Berbeda dengannya, Noah terlihat lebih tenang, dan sepertinya menikmatinya. Ia mengangkat bahunya, tidak tahu-menau soal ini.
“Ya, dia masih belum punya pacar ceu, kayaknya masih belum ada yang mau.”