Siang itu June, Viggi, Sisilia dan Flo tiba di parkiran. Kali ini June yang duduk di balik kemudi. “Lizzy sama Sireen, mereka belum selesai kelas emangnya?” Tanya Sisilia saat masuk ke bagian kursi penumpang depan. Ia menatap June, lalu menggeser tubuhnya untuk menoleh pada Viggie dan Flo di kursi belakang, menunggu jawaban.
“Lizzy udah mulai osjur (ospek jurusan) ... Sireen, dia lagi ngerjain tugas kelompok di perpus pusat,” ujar June sembari membenarkan posisi kaca spion.
“Oh, ok,” sahut Sisilia, mendengar jawaban itu membuatnya tenang.
Mobil itu melaju menuju tempat makan siang, namun ada yang berbeda di sana. Atmosfer ruangan itu, terasa begitu tegang dan canggung. Sejak awal, Viggie tidak mengatakan apa pun. Ia sibuk dengan ponselnya dan kedua telinganya tertutup headphone. Sikapnya yang aneh tidak begitu mencuri perhatian, sebab sudah biasa bila setelah kelas ia akan terlihat lemas dan lesu. Namun, tidak ada yang tahu bila sikapnya kali ini cukup serius. Ia mencurigai June dan Sisil. Dan dia bertekad untuk mengetahui apa kiranya yang mereka sembunyikan.
***
Lizzy masuk ke lapangan basket tempat di mana osjurnya kali ini akan digelar. Ia gugup melihat betapa banyaknya anak-anak yang sudah berkumpul di sana. Kegugupannya bahkan sampai membuat dadanya nyeri. Ia menatap sekeliling, mencari seseorang yang ia kenal. Akhirnya, pikirnya. Ia menemukan Laras dan Windi yang baru saja tiba di sana. Wajahnya memerah karena senang dan haru. Ia berjalan dengan cepat mendekati mereka berdua. Setibanya ia di sana, ia langsung merengek karena senang.
“Gue nyariin kalian dari tadi tahu,” ujarnya sembari merangkul Laras dan Windi secara bergantian.
“Padahal kita tadi ke kelas kamu, niatnya mau ngajak bareng loh,” jawab Laras.
“Iya, kah?” tanya Lizzy.
“Iya, aku juga udah chat kamu,” jawab Windi.
“Huaah, harusnya kalian telepon aja gue, makasih ya, udah nyariin gue,” ujarnya, lalu memeluk mereka secara bersamaan.
Dari wajahnya yang memerah seperti buah tomat dan bibirnya yang bergetar –nyaris melengkung ke bawah, siapa pun tahu, ia sedang sekuat tenaga menahan tangisnya.
***
Katy berjalan di lorong, hendak menuju kelas Gladis. Namun di jalan ia dikejutkan oleh seseorang yang tidak asing dalam ingatannya. Benar, lelaki itu bukan lain adalah Satria. Ia berdiri di ujung lorong dengan teman-temannya. Ia berdiri dengan keren, seolah sedang berusaha membuat seseorang terpesona. Saat ia menyisir rambutnya ke belakang dengan tertawa kecil, siapa pun akan tahu bahwa lelaki itu melakukannya dengan sengaja. Ia tahu, apa yang ia lakukan. Tatapan matanya yang seperti sedang menggoda seseorang, dan senyuman liciknya. Rubah tampan, julukan itu akan cocok untuknya.
Katy segera tersadar dari lamunannya. Bahkan dalam jarak 10 meter itu, lelaki itu cukup mampu membuat Katy sinting. Segera ia bersembunyi di balik pilar, menarik napas sesekali dan menghembuskannya perlahan. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak dengan kencang. Ponselnya bergetar. Saat ia mengambil dan melihatnya, nama Gladis tertera di layar. Sekonyong-konyong wajahnya datar. Gawat, pikirnya.
Ia mengintip dari balik pilar, memastikan Satria sudah pergi. Namun, lelaki itu tetap di sana.
“Hallo?” sapanya. Ia akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon itu.
“Hey, lo berangkat dari mana sih, dari tadi belum nyampe juga?”
Benar, tentu saja kemarahan Gladis bisa dipahami. “Huh?” serunya, wajahnya setengah bengong.
“Hah! Lo di mana sekarang, Katy?”
Wajah Katy semakin shock.
“Gawat,” gumam Katy.
“Gawat? Apanya yang gawat? Katy, lo kenapa?”
“Masalah besar,” ujarnya, kedua matanya membulat, segera ia menyembunyikan dirinya.
“Lo kenapa sih?” tanya Gladis, bingung.
Katy memutuskan berjalan dengan cepat ke arah sebaliknya sembari membelakangi Satria. “Gladis, kita ketemu di kantin, ok?”
“What?”
“Aku tunggu di sana, ya,” ujarnya, segera ia mematikan ponselnya, lalu berjalan dengan cepat, nyaris berlari, menuju kantin.
Ia tidak tahu bahwa Satria menemukannya lebih dulu. Di sana, lelaki itu memandangi punggung Katy, ia bahkan bisa dengan jelas melihat rambut Katy bergerak sesuai dengan kecepatan jalannya. Satria memiringkan kepalanya, alisnya terangkat, dan secara tiba-tiba Satria tersenyum.
Saat Katy sampai di kantin, ia bertemu dengan Gladis yang sudah menunggunya di sana. Wajah Gladis begitu panik. Saat melihat Katy datang, ia segera menyambutnya.
“Katy, kenapa? Apanya yang gawat?” tanyanya sembari memegangi lengan Katy.
Katy merasa lelah, napasnya tersengal-sengal, ia menatap ke tanah.
“Katy?” panggil Gladis lagi. Kali ini, Katy menatap kedua mata Gladis. Namun ia tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Ia menatap mata temannya sedang kepalanya berpikir dengan keras, mencari jawaban. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Ospek ....”
“Uh’huh? Ospek?”
“Ospek jurusan, dimulai minggu depan,” jawabnya.