Pontianak, 2018. SMA Harapan Khatulistiwa
Pohon-pohon yang rindang masih berdiri kokoh di setiap sudut lapangan. Gedung di sisi kiri —letak ruang kelas terakhirku dulu— bahkan terlihat baru. Lapangan terlihat sepi karena jam istirahat kedua baru saja berakhir. Tempat ini memiliki banyak memori yang tak terlupakan.
Ada kebanggaan tersendiri bagiku kembali ke sekolah menyandang status alumni —sejak 3 tahun lalu. Kamis siang yang cerah ini, organisasi siswa di sekolah kami baru saja selesai melaksanakan acara pertemuan dengan alumni untuk berbagi cerita dan pengalaman pasca lulus SMA. Aku melewati koridor ruang guru sambil menyapa beberapa guru yang lewat
“Bu Wulan!” Sapaku ketika melihat guru matematika kesayanganku dulu sembari mencium tangannya.
“Adisa… orang Surabaya nih! Ikut acara alumni juga ternyata. Gimana kuliahnya?” Tanya beliau sambil menepuk pundakku.
“Tugasnya banyak bu… hehe. Tapi seru kok”
“Lha iya toh, Teknik Industri kan mimpimu dari kelas satu. Ya sudah, ibu ke kelas dulu ya” Ucap beliau sambil berlalu ke arah kelas
Aku menundukkan kepala —memberi hormat, “Iya.. duluan bu!”
Aku kemudian masuk ke ruang Tata Usaha untuk mengambil ijazahku. Karena sempat ada masalah di administrasi, ijazah resmiku baru bisa diambil 2 tahun setelah aku lulus —dan baru aku ambil sekarang karena aku lupa.
“Adisa Setyorini, Pak. 12 MIA 2” Ucapku menyebutkan nama lengkapku.
Pak Rahmat —nama beliau— mendekatkan telinganya padaku, “Siapa?”
Aku menarik nafas, “A-di-sa Set-yo-ri-ni. 12 MIA 2.” Ucapku sedikit berteriak.
“Oke, sebentar saya carikan.” Petugas Tata Usaha yang masih cukup muda itu dengan cekatan mencari ijazahku di arsip kelas 12 MIA 2.
“Ini. Cap tiga jari di sini dan di sini ya.” Tunjuknya ke kolom yang harus diberi cap jariku. “Kamu lulus tahun 2015 tapi kok baru sekarang ambilnya?”
Aku menggaruk pelan kepalaku —yang tidak gatal, “Hehe, lupa Pak maaf.”
Pak Rahmat berdecak pelan sambil menggelengkan kepalanya.
“Sudah. Terima kasih Pak, saya ambil ya” Ucapku sambil membereskan berkas-berkas. Lalu aku bergegas keluar ruang TU.
Aku segera meraih ponselku dari tas saat berbunyi menandakan panggilan masuk. Siang ini aku berjanji dengan seseorang untuk bertemu setelah mengambil ijazah.
“Halo, Nay. Oh, kamu udah di mobil? Oke, ini aku baru kelar di TU, lagi jalan ke gerbang.”
Aku bergegas keluar sekolah untuk menunggu seseorang yang menungguku, dan langsung mendatanginya ketika mobil Jazz putih yang platnya kukenali sudah menunggu di depan gerbang.
Aku langsung membuka pintu samping kemudi dan masuk tanpa permisi. Pemilik mobil ini adalah teman akrabku.
“Ayo jalan, udah laper nih.”
“Yeu sabar dong… Oh iya, Arvin nanti juga ikut makan lho.” Perempuan sebayaku yang bernama Naya itu kemudian menginjak pedal gas setelah aku masuk. Naya adalah teman dekatku sejak kelas 1 SMA. Begitu juga Arvin, nama laki-laki yang disebutnya tadi.
“Oh, dia liburan.” Aku menanggapinya singkat.
Naya merapikan rambut panjangnya yang disemir pirang dengan tangan kirinya, “Iya. Tiga hari doang, Sa. Baliknya ntar paling bareng kita juga. Eh, mi kepiting ke arah situ kan?” Tunjuknya ke arah kiri ketika kami berhenti di pertigaan lampu merah.
Aku mengeluhkannya yang masih belum mengingat jalan, padahal kami sudah beberapa kali makan di sana. “Ya ampun, udah berapa kali masih aja ga inget jalannya. Iya bener ke situ”
Naya menyalakan lampu sein kirinya, “Yaa mastiin aja”
Sekarang kami berkuliah di kampus dan fakultas yang sama di Universitas Patra Dharma Surabaya, namun beda jurusan. Aku di jurusan Teknik Industri, Naya di Teknik Kimia. Kami terkenal selalu nempel seperti perangko. Dimana ada aku, disitu ada Naya. Kadang-kadang, Arvin juga. Meskipun kami sudah bersama sejak kelas satu, aku tidak pernah bosan. Bagiku, teman sedikit tetapi baik sudah sangat cukup.
Kami sampai di Bakmi Kepiting Achai 10 menit kemudian. Bakmi ini menjadi salah satu kuliner terkenal di kota Pontianak, yang juga menjadi tempat makan favorit kami bertiga. Bahkan Bakmi Kepiting ini pernah jadi lokasi syuting salah satu film yang mengangkat kuliner Indonesia.
Aku dan Naya langsung menuju meja kosong tepat di belakang tempat memasak. Beruntungnya kami sampai saat tidak terlalu ramai.
“Silahkan.” Seorang pelayan wanita menyambut kami sambil menyodorkan menu.
“Bakmi kepitingnya 3, es tehnya 3.” Ucap Naya kepada pelayan. “Ada lagi ga, Sa?”
Mataku tertuju ke salah satu menu baru yang membuatku penasaran. Aku membuka dompetku, masih cukup untuk membeli satu porsi lagi.
“Emm… mau nyoba kwetiau kuahnya ga sekalian? Laper nih.”
Deru mesin dari kendaraan yang berlalu lalang membuat suaraku tak terdengar.
“Hah, apa?” Tanya Naya yang membuatku harus mengulang perkataanku.
Aku menghela nafas, “Mau kwetiau ga?” Tanyaku dengan suara lebih keras.
“Oh, boleh deh, satu ya. Mbak, sama kwetiau kuah satu. Udah, itu aja.” Tambah Naya kepada pelayan.
“Baik, ditunggu” Ucap pelayan yang kemudian dengan sigap memberitahu pesanan ke pemasakan.
Seorang cowok tinggi dengan postur yang cukup atletis tiba-tiba datang dan langsung duduk di hadapanku dan Naya. “Halo Disa, Naya…”