Growth: Story of the Inner Child

Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Chapter #3

Bagian 2

Pontianak, Akhir tahun 2005.

Di rumah yang sama, terdapat sebuah meja bufet yang menyimpan banyak saksi perjalanan hidup. Mulai dari bingkai foto pernikahan berwarna vintage bertuliskan angka 1992 —menunjukkan tahun foto itu diambil, sampai deretan piala dengan model yang beragam, bertuliskan tanda penghargaan bagi pemiliknya. 

Juara I lomba menggambar gedung PT. Gagah Perkasa, Juara II lomba menulis puisi Hari Kartini, Juara I lomba fotografi tingkat kota, dan masih banyak lainnya yang sejenis. Itu semua adalah milik Adisa. Beberapa piala milik kakaknya, Avia, adalah penghargaan peringkat 1 seangkatan di sekolahnya.

Adisa 8 tahun adalah anak yang pintar dan berbakat. Selain nilai rapor akademiknya baik, dia sudah memiliki bakat di bidang fotografi, desain gedung, menghitung cepat, dan memasak. Hari ini adalah hari pembagian rapor sekolah Adisa. Avia langsung menuju pintu rumah ketika mendengar suara motor memasuki rumah. Ayah, ibu dan adiknya baru datang dari sekolah Adisa.

“Ayo foto dulu sama pialanya Disa.” Ajak Ibu setelah mengambil kamera analog keluaran tahun 90-an dari lemari. Kamera itu adalah peninggalan dari orangtua Ibunya.

Ayah menarik pelan lengan Adisa, mengatur posisi yang tepat untuk berfoto. “Ayo. Sini Disa, pegang pialanya yaa… Kak, ayo fotoin kita dulu!”

Avia langsung meraih kamera yang disodorkan Ibu. “1… 2… 3!” Cekrek. Satu gambar berhasil diambil.

Ayah mengelus kepala Adisa, “Hore… pinter anak ayah.” Pujinya. “Ayah taruh pialanya di sini ya.” Lanjutnya sambil meletakkan piala baru di ruang yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap pembagian rapor, Ayah memang selalu menata ulang meja bufet untuk mengisinya dengan piala baru. Karena beliau selalu optimis anak-anaknya menerima penghargaan setiap pembagian rapor.

“Aku juga ranking 1 seangkatan lho, inget Yah.” Celetuk Avia, memberi kode ingin dipuji juga oleh Ayah.

“Tapi kemarin rapormu ada yang dapet nilai 8,5. Masih kurang itu…. Adikmu nih, dapat 9 keatas semua.”

Ibu mengambil rapor Adisa, untuk diletakkan di laci bufet khusus dokumen, membela Avia, “Anak SMP kan pelajarannya lebih susah Yah… Lagian dia dapet ranking 1 seangkatan lagi lho.”

“Sama aja ah, mau SMP SMA kuliah semua bisa dapet nilai 10 kalo belajarnya bener.” Sanggah Ayah.

Avia tidak berkutik mendengar kalimat terakhir ayahnya. Ia langsung menuju kamarnya. Meskipun kesal, ia masih sedikit tenang ketika mendengar suara ibunya di ruang keluarga yang membelanya.

---

Suatu malam di kamar 33 yang ditempeli banyak gambar sketsa gedung di temboknya, Adisa kecil duduk menunduk di lantai, sedang sibuk menggambar gedung baru. Gambarnya sangat bagus dan detail untuk seorang yang masih berumur 8 tahun. Dia seperti memiliki bakat itu sejak lahir, karena tidak pernah ikut kursus sama sekali.

Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara pintu yang dibuka Avia. “Disa… main kartu yok!” 

“Hih, ganggu aja.” Sahut Adisa singkat. 

Avia mendekati Adisa, mengintip apa yang sedang ia kerjakan. “Ooh, lagi gambar.” 

Avia mengurungkan niatnya untuk bermain. Ia lalu meletakkan gelas berisi jus mangga di atas meja tempat Adisa menggambar. Namun, tiba-tiba cipratan jusnya mengenai kertas gambar Adisa.

“Kaaakk!! Liat tuh kena jus….!” Pekiknya kepada Avia. Selang beberapa detik, ia menunduk di depan meja dan menangis keras. Meskipun cipratannya sedikit, tetapi mengenai bagian penting di gambar gedungnya.

“Aduh maaf maaf aku gak sengaja…” Avia yang panik berusaha menenangkan Adisa. Tetapi dia masih tetap menangis. “Ya ampun Sa, sorry… Aku bersihin dulu yaa.” Avia langsung membersihkan pelan cipratan jus di kertasnya. Beruntungnya, tidak mengganggu gambarnya sama sekali. 

Avia lega ketika kotoran di kertas gambar Adisa berhasil dihilangkan, “Masih bagus kok, Sa, tinggal tunggu kering aja yaa…” Tangis Adisa mulai mereda setelah melihat kertasnya sudah kembali seperti semula. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ayah yang membuka pintu.

“Ada apa ini nangis-nangis?!” Tanyanya membentak.

Lihat selengkapnya