RS. Dharma Husada, Surabaya.
“Kondisi vital Ibu sudah cukup membaik, makannya juga sudah mulai enak kan, ya? Kita pantau sampai besok pagi, kalau sudah benar-benar pulih, sudah bisa pulang ya, Bu.”
Dokter muda berkerudung hitam itu menjelaskan kondisi pasiennya di ruang rawat. Tanda pengenalnya tersemat di sisi kiri jas putihnya, Avia Rahmadini.
“Terima kasih, dok.” Ucap pasien wanita berusia 40-an itu.
“Sama-sama. Saya tinggal dulu, ya.” Pamitnya. Tepat setelah itu, ponselnya berdering. Avia langsung mengangkat telpon yang ternyata dari Ibunya di luar ruangan.
“Halo, Assalamu’alaikum, Bu.” Sapa Avia.
“Wa’alaikumsalam, Via. Gimana kerjaannya hari ini Via? Lancar?” Tanya Ibu di seberang telpon
“Iya lancar, ini lagi mau istirahat.”
“Ooh… ibu mau ngabarin aja, Mas Andri mau nikah bulan depan. Calonnya orang Surabaya juga katanya. Nanti dibantu-bantu ya.”
“Ooh Mas Andri. Oke bu.”
“Gimana Adisa? Sehat-sehat aja dia?”
“Sehat kok Bu.”
“Sering-sering ditemuin ya kalo kamu sempet…”
“Yaah… dia kan udah gede Bu. Kadang juga dateng sendiri kok ke kontrakan.”
“Iya gak papa, sering-sering ingetin dia buat hati-hati Vi.”
“Iya iya…”
Avia sebenarnya heran kepada Ibu yang masih menganggap Adisa anak kecil. Padahal baginya, Adisa sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Tetapi Avia tidak bisa menolak permintaan Ibu untuk menanyakan kabar Adisa. Akhirnya dia mengirim pesan lewat chat kepada Adisa
“Sa, tar malem makan yok, di Penyetan Mbok Sri.”
Seketika chatnya dibalas Adisa, “Gabisa tar malem, tapi mingdep aku ke kontrakan kok.”
Avia menghela nafas, “Oke.” Balasnya.
“Vi, makan dulu yok.” Ajak seseorang yang tiba-tiba mendatangi Avia.
“Yok, Za.” Sahut Avia kepada laki-laki sebayanya yang bernama Reza itu. Mereka lalu berjalan bersama ke arah Cafetaria RS.
Reza ketika memerhatikan wajah Avia, “Kenapa Vi? Kok kusut gitu?” Tanyanya.
“Yaah gitu, biasa lah. Ditanyain tentang Disa sama Ibu. Padahal dia udah gede juga.” Keluh Avia.
Reza tersenyum mendengar keluhan Avia. Ia memahaminya.