Growth: Story of the Inner Child

Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Chapter #6

Bagian 5

Surabaya, 2018. 7 AM.

Aku baru saja menyematkan jarum pada kerudungku untuk bersiap berangkat kuliah pukul 7.30 nanti. Sebelum keluar kamar dan menguncinya, aku memastikan kembali kipas angin kamarku sudah mati dan tidak ada peralatan elektronik yang tercolok ke stopkontak. Naya sudah menungguku di teras rumah kos. Aku dan Naya tinggal di rumah kos yang sama, tapi beda kamar. Hari ini kami berangkat bersama karena kebetulan jadwal kuliah kami sama.

Naya menyodorkan sebungkus roti isi kepadaku, “Jangan lupa sarapan biar otaknya encer.”

Thank you.” Ucapku, lalu memasukkan rotinya ke dalam tas. Kami lalu berangkat ke kampus yang berjarak 3 kilometer dari rumah kos kami.

Di perjalanan, aku tiba-tiba melamun tanpa sebab. Sepekan terakhir, aku beberapa kali tidak fokus sampai melamun. Entah apa yang aku pikirkan, aku juga bingung. 

“Sa… Adisa!” 

Aku tiba-tiba tersadar dari lamunanku, “Hah, kenapa Nay?” 

“Pelan-pelan dong kalo ada polisi tidur!” Serunya. Aku baru sadar kami baru saja melewati polisi tidur yang cukup tinggi, namun karena aku tidak menurunkan gasku, kami loncat.

“Heh? Oh iya, maap Nay.” Ucapku datar.

Naya berdecak kesal, “Bisa gitu ya, orang panik dia malah datar.”

Tak lama kemudian, kami sudah sampai di kampus Teknik Kimia. Aku membuka ponselku, melihat jam yang menunjukkan pukul 7:15. Masih ada waktu untuk sarapan roti.

Selama dosen menerangkan materi di kelas Kewirausahaan kali ini, aku beberapa kali kehilangan fokus. Aku tiba-tiba memikirkan betapa cerobohnya aku tadi pagi. Sebenarnya, itu masalah sepele. Tetapi aku tiba-tiba membayangkan jika kami melewati polisi tidur yang lebih tinggi, kami mungkin sudah tumbang. Memikirkannya membuatku bergidik, tetapi aku tetap kesulitan kembali fokus.

“Mbak kerudung biru yang di pojok.” 

Aku tersentak ketika Bu Tika, dosenku kali ini memanggilku dengan ciri keadaanku sekarang. Terlebih ketika mendapati Bu Tika menatap ke arahku.

“Apa yang dimaksud Break Even Point?”

“Eh… emm…” Aku berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. Aku mengerti maksudnya, tetapi tidak bisa menjelaskannya. 

“Sebelahnya.” Bu Tika terlanjur melempar pertanyaan kepada Bella.

“Jika diibaratkan dalam grafik, BEP adalah titik dimana pendapatan sama dengan modal yang dikeluarkan.” Jawab Bella dengan mantap. Cara bicaranya selalu membuatku kagum —dan ingin bisa seperti dia.

Bu Tika melanjutkan bahasan setelah mendapat jawaban yang benar dari Bella. Aku baru berkonsentrasi penuh ketika Bu Tika menyampaikan kesimpulan dan menutup kuliah hari ini.

“Woi! Napa lu? Ngelamun aja gua perhatiin.” Shera menepukku dari belakang ketika kami keluar kelas.

“Gatau, hari ini lagi susah fokus aja.” Jawabku, berharap tidak ditanya lebih lanjut. Sayangnya, suara ramai orang-orang di kampus membuat suaraku tenggelam.

“Apa? Gak denger.” Pekik Shera.

Aku berdecak kesal, “Gak papa.” Jawabku singkat.

“Mikirin apa sih Dis…” Tanyanya yang membuatku merasa terintimidasi. “Eh kelompokan yok tugas yang tadi.” 

Lihat selengkapnya