Growth: Story of the Inner Child

Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Chapter #7

Bagian 6

Layar ponselku menampilkan waktu yang menunjukkan hari Sabtu, 14 Oktober 2018, 12:30 PM. Aku menyalakan motorku untuk bersiap berangkat ke rumah Bella, sesuai janji kami untuk mengerjakan tugas kelompok. 

Jalan raya agak lenggang hari ini. Orang-orang memilih di rumah daripada terkena terik panasnya kota Surabaya. Karena itu, hanya butuh 7 menit untuk sampai di rumah Bella yang berjarak 5 kilometer. Seorang wanita jawa yang berusia kira-kira 30 tahun membukakan gerbang ketika aku datang. Beliau adalah Mbak Ina, asisten rumah tangga di rumah Bella. 

Mbak Ina menyapa sopan, “Mbak Adisa… silahkan.”

“Mari mbak…” Sapaku menundukkan kepala ketika melewatinya.

Ini kali kedua aku mengunjungi rumah Bella, dan aku masih kagum setiap kali ke rumahnya. Rumah yang berada di perumahan elit ini bernuansa modern-kontemporer. Fasadnya bernuansa coklat muda dan terdapat aksen motif kayu yang menambah estetika. Bagian dalamnya tak kalah mewah, apalagi perabotannya. Terdapat beberapa foto anggota keluarganya dengan berbagai ukuran dan kejadian yang terpajang di dinding, di tengahnya juga terdapat sebuah salib. Aku menaiki tangga yang railingnya berbahan kaca, dan terdapat lampu gantung khas rumah modern di atasnya. Shera dan Bella sudah menungguku di ruang tengah lantai atas. Ruangan yang lapang dengan sofa dan meja yang menghadap ke balkon depan. Kami langsung memulai bekerja setelah aku datang. Pekerjaan kami kali ini tidak terlalu rumit, namun perlu berdiskusi untuk bertukar pikiran. 45 menit lewat, kami sudah selesai dengan pekerjaan kami.

Shera merebahkan diri di sofa, “Akhirnya kelar juga…”

Guys, kalo mau ngopi bikin aja di home bar ya.”

Aku langsung beranjak, kebetulan aku sedang ingin kopi. “Boleh boleh. Sher mau ga” Tawarku pada Shera.

“Boleh, cappucino 1 ya mbak.”

“Baik kakak…” Ucapku ala-ala barista di kedai kopi.

Shera tertawa, “Heh, pelanggan bisa kabur tau gak kalo baristanya datar gitu hahaha.”

Home bar yang dimaksud ternyata ada di lantai 2 juga. Terdapat dispenser, meja, rak berisi gelas dan kumpulan kopi sachet. Di lantai dua sendiri juga terdapat gitar yang digantung, dan terdapat sebuah piano digital. Bella benar-benar memiliki semua yang ia inginkan dan butuhkan di rumahnya.

Aku mengambil dua gelas di rak dan dua kopi sachet. Ketika aku hendak membawanya ke meja, tiba-tiba gelas di tangan kiriku jatuh tanpa sadar. Aku terkejut dan buru-buru memastikan apakah gelasnya baik-baik saja.

“Selow dong sist… Jangan ngegas!” Shera menyahut.

Untung saja gelasnya tidak pecah, “Sori-sori… ga pecah kok hehe.” Aku meminta maaf.

Bella menenangkan kami, “Gak papa, gak papa. Hati-hati, Dis.”

Aku mengambil air panas di gelas kopi yang sudah berisi kopi bubuk. Lalu meletakkannya di meja, sambil menunggu panasnya berkurang.

Thank you, Disa.” Ucap Shera yang lalu melanjutkan rebahan di sofa sambil scrolling Instagram.

“Tau ga sih, selebgram yang baru ngerayain ulang tahun anaknya yang ke 4, parentingnya dia bagus banget loh.” Shera tiba-tiba memulai topik, membicarakan seorang artis Instagram yang sedang ia lihat. “Kayak misal anaknya berantakin apa gitu, dia ga marahin. Dia ngasih tau baik-baik terus diajak ngerapihin bareng. Jadinya pas gede anaknya selalu gampang minta maaf kalo ada salah ke mamanya.”

“Oh ya?” Bella memuji tulus.

“Kalo gua mah, udah ditabok nyokap gua paling haha.”

Bella tertawa kecil, “Orang tuaku juga gitu sih dulu, selalu minta maaf kalo salah.”

“Wow, such a happy family!” Puji Shera.

Aku tersenyum tipis. Mataku tertuju pada pigura berisi potret keluarga Bella yang tergantung di atas TV. Bella kecil —yang berusia 5 tahun, sejak dulu sudah cantik— duduk di tengah kedua orangtuanya —yang sekarang katanya sedang di luar negeri. Dua orang laki-laki kembar yang berusia 3 tahun lebih tua berdiri di belakangnya —mereka sudah bekerja sekarang. Dukungan keluarga yang berkecukupan dan bahagia pasti membuatnya menjadi wanita yang ‘hampir sempurna’ sekarang.

Setelah kopi di gelasku habis, aku membawanya ke wastafel untuk mencucinya. Lalu terdengar adzan ashar berkumandang, cukup jelas terdengar disini. Waktu hampir menunjukkan pukul 3 sore, aku sudah berjanji mengunjungi rumah Kak Avia. Aku mengecek ulang pekerjaan kami, memastikan tidak ada yang terlewat sebelum aku pergi.

Lihat selengkapnya