Growth: Story of the Inner Child

Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Chapter #8

Bagian 7

“Sa! Jas hujannya kok ga dibawa sih, pinter banget… pulang-pulang udah kaya aquaman.” Naya mengomeliku ketika aku datang dalam keadaan basah kuyup malam-malam. 

“Ya gimana, tadi pas jalan udah reda, tau-tau di depan komplek malah deres lagi.” Jelasku.

“Bisa-bisanya tetep datar.” Keluhnya melihat ekspresi dan nada bicaraku yang tetap datar. Sudah 6 tahun mengenalku masih belum membuatnya maklum dengan wajah tanpa ekspresiku.

Naya mengikutiku ke kamarku, “Mau delivery soto gak pas hujannya reda?” Tanyanya.

Aku menoleh padanya, “Pesen di Bang Amad aja. Jangan lupa, gak pake bawang goreng, daun bawang, kecap, trus sambel sama kerupuknya nya banyakin.” Jawabku cepat, dengan suara yang kurang jelas —ditambah hujan deras.

Dahi Naya mengkerut, “Hah?”

Aku menghela nafas, mengulangi pesananku dengan tempo pelan. Lalu bersiap mandi dan sholat maghrib.

Pesanan soto kami datang tepat setelah kami sholat isya’ di kamar Naya. Aku menyiapkan dua mangkok selagi Naya mengambil pesanan kami. 

“Sa, cobain bawang goreng dikiit aja, ya?” Naya mengambil beberapa bawang goreng dari mangkoknya, tetapi aku tolak sebelum dia menaruhnya di mangkokku.

“Ya ampun, kamu harus tau ini enak banget, Sa…”

“Udah pernah, tetap aja gak suka.” Jawabku sambil menyendok soto —yang berwarna merah penuh cabe.

Selesai makan, aku mencuci mangkok kami di dapur kos. Kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit membuatku berhenti sejenak. Tetapi aku abaikan dan lanjut mencuci mangkok ketika sakitnya mereda. Naya tidak perlu tahu, pikirku.

Malam minggu bagiku tidak berbeda dengan malam-malam biasa —terlebih aku jomblo. Aku dan Naya bersantai di kamar kos sambil melihat-lihat media sosial. Satu notifikasi Instagram dari Arvin membuatku penasaran. Ternyata dia mengunggah instastory foto kami bertiga di Heart’s Coffee 6 hari yang lalu. Foto selfie dari ponsel Arvin diikuti aku dan Naya di belakangnya. Naya terlihat cantik meskipun senyumnya tipis, terlebih rambutnya yang disemir blonde membuat auranya semakin memancar. Arvin juga tersenyum, seperti biasa. Tetapi, melihat foto yang diunggah Arvin membuatku kesal, karena semua yang di foto terlihat bagus kecuali aku —yang belum siap berpose.

“Heh fotonya kok jelek.” Keluhku, yang disusul tawa Naya melihat wajahku.

“Lucu tapi, Sa.”

Aku buru-buru membalas instastory Arvin, menyuruhnya menghapusnya —atau menggantinya dengan foto yang lebih baik.

“Aku cakep disitu wkwk”

Balasan Arvin membuatku tambah kesal, “Hih bodo amat, hapus ga!”

“Gapapa Dis, lucu.”

Aku menyerah. Toh, itu wajahku sehari-hari yang terlihat orang. Siapa juga yang akan memerhatikanku, pikirku.

“Makanya, sering-sering senyum ya.”

Balasan terakhir Arvin membuatku tertawa tipis. Aku tidak membalasnya karena tidak peduli. Tetapi aku menangkap ekspresi Naya di sebelahku yang senyum-senyum melihat ponselku.

“Apaan?” Tanyaku.

Naya merubah ekspresinya cepat, “Gak papa, gak papa.” Jawabnya santai.

Kepalaku kembali pusing, kali ini lebih sakit. Aku langsung menutup ponselku dan memegang kepalaku. Naya menyadarinya.

“Kenapa, Sa?”

Aku tak menjawabnya, lalu terkejut ketika meraba dahiku yang terasa lebih hangat. Naya memegang dahiku dengan punggung tangannya, lalu panik.

“Panas, Sa.”

Lihat selengkapnya