Aku baru meminum obat pertamaku ketika Kak Avia menyodorkan ponselnya kepadaku, katanya Ayah mau bicara. Aku yang panik tetap berusaha tenang dan meraih ponselnya.
“Hallo, Disa dimana?”
“Udah di kos, Yah.”
“Kenapa kok sampe sakit gitu? Kemarin kehujanan ya?”
“Iya…”
“Kenapa jas hujannya gak dipake?”
“Ketinggalan”
“Aduh, dari dulu kamu selalu gitu. Jas hujan jangan dikeluarin dari motor makanya!”
Aku diam, berusaha mengabaikannya sambil meminum obat keduaku.
“Kalau jas hujannya dipake kan ga bakal sampe sakit kaya gitu.”
Aku masih diam.
“Heran Ayah sama kamu, kebiasaan ceroboh dari kecil kok gak hilang…”
“Bisa gak sih kalo anaknya sakit jangan dibentak!”
Hening. Hanya terdengar gemerisik dari suara telepon.
“Kalo emang Disa salah ya Disa tanggung sendiri resikonya, Disa ga butuh bentakan Ayah!”
“Dis…”
“Disa juga heran, kebiasaan marah-marah Ayah dari dulu kok ga hilang. Sadar gak dampaknya ke anaknya gimana?!”
Aku menghela nafas, ini waktuku untuk meluapkan semuanya.
“Aku jadi ceroboh juga gara-gara siapa, hah?!”
Suara di seberang telpon berubah.
“Disa, anakku, udah kamu istirahat dulu aja…”
“Ibu juga sama aja, kenapa diem doang! Masa Ayah kasar begitu Ibu biarin aja?”