“Saturn Coffee.” Ucapku mengeja plang nama kedai kopi yang kami tuju. Aku pernah mendengar kedai ini dari review orang-orang —katanya enak.
“Cappuccino-nya gak ada lawan.” Ujar Kak Avia yang langsung memesan dua hot cappuccino.
Kami duduk di meja yang tepat di samping dinding kaca kedai, menghadap ke jalanan.
“Sa.”
Aku menoleh, mengalihkan perhatianku dari ponselku.
“Dengerin aku ngomong ya. Jangan marah juga.” Ucapnya yang membuatku bingung.
“Kalo menyinggung boleh marah dong.” Ucapku.
“Ngga. Ini penting.” Nada bicaranya berubah serius.
Kak Avia menghela nafas, “Gimana perasaanmu sekarang?”
Aku berpikir sejenak, “Hmm… apa ya. Bingung juga kalo ditanya.”
“Hmm…” Kak Avia mengangguk-ngangguk. “Oke, gini deh.”
Kak Avia menyilangkan kakinya, “Kamu tau tentang inner child?”
“He’em.” Aku mengangguk
“Oke, aku anggep kamu ngerti, jadi langsung ke poinnya ya. Diri kita sekarang ini, adalah cerminan didikan orang tua kita kan. Karena kita hidup sama mereka, secara gak sadar kita juga meniru menjadikan mereka role model. Tapi, kalo udah umur segini, kita udah bisa ngontrol diri kita sendiri, mau jadi orang seperti apa kita ini..”
Pelayan kedai yang datang membawa pesanan menghentikan obrolan kami. Aku langsung menyeruput cappuccinoku setelah berterima kasih padanya.
“Aku ngeliat semua kok. Aku tau kamu banyak ngalamin hal gak enak waktu kecil. Sebagian bisa jadi salahku juga, yang ga baik sebagai kakak. Aku juga mau minta maaf kalau banyak salah dari dulu sampe sekarang.”
Aku mengangguk.
“Tapi kamu pernah ga, bertanya-tanya kenapa Ayah bisa jadi orang yang keras gitu?” Lanjutnya.
Aku menggeleng pelan.
Kak Avia menyeruput kopinya, “Karena Kakek sama Nenek di Pemangkat dulu memperlakukan anak-anaknya sama kayak Ayah ke kita sekarang. Bahkan lebih kasar, Sa. Mainnya fisik.”
Aku termangu mendengarnya. Ini hal yang baru bagiku.
“Waktu Ayah umur 18 tahun, Sa, Ayah udah harus kerja karena kakek sakit-sakitan. Nenek juga kerja sambilan jadi tukang cuci, meskipun penghasilannya ala kadarnya. Om Ardi masih sekolah waktu itu, Tante Rita masih kecil banget malah. Untungnya ayah dapet beasiswa jadi bisa kuliah. Meskipun ga bisa meraih cita-citanya jadi arsitek, seenggaknya masih punya hobi olahraga, makanya kuliahnya di Pendidikan Olahraga. Dari sini kamu udah bisa bayangin kan, hidupnya Ayah gimana?”
Aku tertegun, belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya.
“Arsitek?”
Kak Avia mengangguk, “Iya, Sa. Menurutku bakat menggambarmu turun dari Ayah.”
“Hmm… gitu.”
“Waktu kita kecil, Ayah tiap bulan selalu nyisihkan gajinya buat nenek dan tante Rita. Makanya kita baru punya baju bagus dan mulai sering jalan-jalan pas kamu kelas 6 kan? Kalo kamu inget, di masa itu juga usahanya Om Ardi baru berkembang pesat. Sejak itu, Om Ardi yang nanggung kehidupan Nenek.”
Ekspresi Kak Avia berubah, “Kalo tante Rita, udah gak tau kemana sejak dia nikah sama si Bos Batubara haha.”
Aku tertegun lagi, “Jadi, tante Rita gak pernah ngirim apa-apa gitu ke Nenek?” Tanyaku.
Kak Avia merapikan kerudungnya, “Dia kan istri kedua. Pas lulus kuliah, dia jadi sekretarisnya si Bos itu, eh tau-tau ‘isi’. Yaudah deh.” Kak Avia memberi isyarat membentuk tanda petik dengan jarinya.
Aku tersentak ketika menyeruput cappuccino, “Hah, sumpah?”
“Iya, aku baru diceritain semua sama Ibu dua hari lalu. Mungkin dia sungkan sama istri pertama suaminya kalo minta banyak. Padahal dia dulu paling dimanja dan disayang sama Ayah, karena beda umurnnya 10 tahun kan.”
Aku mengangguk-ngangguk mendengar cerita Kak Avia.
“Makanya, Ayah kadang-kadang protektif biar kita gak kaya tante Rita. Nyadar gak, tante Rita pulang lebaran cuma 2 tahun sekali? Suaminya juga datengnya sesekali doang”
“Hoo gitu…” Aku mengangguk-ngangguk, baru mengerti semuanya. “Ya udah sih, gak usah bahas beliau. Toh, orangnya baik.” Ucapku mengalihkan pembicaraan.
Kak Avia tersenyum, “Baik kali adekku ini.” Pujinya.
“Oke, back to topic. Masalah cara mendidik, Sa, zaman dulu akses ke ilmu parenting gak segampang sekarang. Tau sendiri lah, zaman sekarang tinggal ‘klik’, dunia udah serasa kita genggam. Kalo dulu, terbatas cuma buat orang-orang pendidikannya khusus di bidang itu, dan yang berduit aja yang bisa ngakses ilmu parenting dengan mudah.”
Aku merasa tertampar, tetapi setuju dengan perkataan Kak Avia barusan.
“Toh, Ayah sejak kamu kuliah udah ga sekasar dulu. Ya paling sesekali aja nge-gas ngomongnya. Tapi aku yakin beliau berusaha berubah meskipun gak pernah nunjukkin secara langsung. Cuma, Sa, sifat dasar manusia tuh susah dirubahnya. Jadi kalau kamu berharap Ayah bisa berubah dengan cepat, gak akan tercapai ekspektasimu itu...”
Lagu ‘You raise me up’ versi Westlife tiba-tiba terputar dari speaker kedai.
You raise me up… so I can stand on mountain
You raise me up… to walk on stormy seas
I am strong… when I am on your shoulder
You raise me up… to more than I can be
Kak Avia menoleh ke asal suara, “Ini lagu kesukaan Ayah. Sering banget dinyanyiin waktu gendong kamu dulu. Pas juga nih, versinya Westlife.”
Aku mengerutkan dahi, “Masa sih? Aku aja sering dimarahin kalo nyanyi dulu.”
Ingatanku kembali ke masa dimana hidupku hanya diisi dengan main, tidur, dan makan. Kira-kira 16 tahun lalu.